JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejumlah 292 mahasiswa Pendidikan Khusus Profesi Advokat Angkatan X Bina Nusantara University (Binus) mengikuti kuliah umum bersama Ketua MK Suhartoyo pada Sabtu (4/5/2024) secara daring dan luring dari Kijang Function Chamber. Dalam kegiatan yang diselenggarakan atas kerja sama DPC Peradi Jakarta Barat dengan Binus ini, para mahasiswa mendapatkan pembekalan mengenai berbagai pengetahuan seputar Mahkamah Konstitusi (MK).
Melalui paparan berjudul “Beracara di Mahkamah Konstitusi”, Suhartoyo mengajak para mahasiswa untuk mengenal dasar hukum pembentukan MK dan kewenangannya serta kewajiban MK. Selanjutnya Suhartoyo berbicara tentang beracara di MK dengan memfokuskan pada pengujian undang-undang (PUU). Suhartoyo menjelaskan setiap warga negara Indonesia dapat mengajukan PUU yang dinilai tidak sesuai dengan perkembangan hak konstitusional warga negara. Sehingga terkait dengan PUU ini, warga negara asing tidak dapat melakukan pengujian norma yang termuat dalam konstitusi Indonesia.
“Oleh karenanya, untuk beracara di MK dan mengajukan perkara tidak harus dilakukan oleh advokat atau didampingi oleh advokat. Namun prinsipal dapat menunjuk pendamping yang bukan advokat. Ini dilakukan MK untuk memudahkan para pencari keadilan yang berkaitan dengan hak konstitusionalnya yang dirasakan dirugikan, sehingga di sini tidak boleh terhalang oleh finansial. Itulah jiwa atau roh dasar perlu dibentuk MK,” jelas Suhartoyo.
Berikutnya, Suhartoyo mengajak para mahasiswa untuk memahami sistematika dari sebuah permohonan PUU sebagaimana termuat dalam Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian UndangUndang. Sistematika dimaksud yakni, identitas Pemohon yang terdiri atas nama Pemohon dan/atau kuasa hukum, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat dan alamat surat elektronik. Lalu terdapat uraian mengenai hal-hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah Konstitusi; kedudukan hukum Pemohon (legal standing); dan alasan-alasan permohonan pengujian (posita). Selanjutnya ditutup dengan hal-hal yang dimohonkan (petitum).
Menyoal persidangan PUU ini, Suhartoyo mengungkapkan bagaimana proses persidangannya mulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan hingga pembuktian lebih lanjut yang menyertakan DPR dan Pemerintah. Dalam hal kehadiran pihak DPR dan Pemerintah ini bukan dalam rangka tergugat layaknya di peradilan umum, tetapi memberikan keterangan untuk menjabarkan bagaimana kajian akademik dan menjawab hal-hal yang ditanyakan oleh Pemohon.
Manfaat Putusan MK
Pada kesempatan ini, Suhartoyo juga memperkenalkan kewenangan MK lainnya seperti kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang tertuang dalam konstitusi. Dalam diskusi ini, Suhartoyo mencontohkan beberapa negara yang perkaranya pernah diajukan ke MK. Kemudian Suhartoyo juga membahas bagaimana kewenangan MK dalam penyelesaian perkara pemilu presiden/wakil presiden, pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah. Secara rinci Suhartoyo menjabarkan perbedaan legal standing dari masing-masing pihak yang dapat mengajukan permohonan dan sekelumit hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan persidangan dan penyelesaiannya di MK.
Pada sesi tanya jawab, sebuah pertanyaan muncul dari salah satu peserta kuliah yang mempersoalkan tentang kewenangan MK yang dapat memberikan penafsiran baru bagi undang-undang. Menjawab hal ini, Suhartoyo memberikan contoh kasus yang pernah dialami warga negara atas ketentuan sebuah undang-undang yang pernah diajukan ke MK.
“Misalnya dalam satu kantor tidak boleh menikah, padahal ini berkaitan dengan hak konstitusional warga negara dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang layak. Jika MK tidak memberikan penafsiran dan hanya menyatakan bertentangan dengan undang-undang dasar, MK menjadi tidak memberikan sumbangsih apa-apa pada kebutuhan warga negara. Oleh karena itu, MK memberikan ‘sepanjang dimaknai atau tidak dimaknai’ agar MK menjadi ada manfaatnya dalam kewenangannya bagi warga negara yang mencari keadilan. Itulah upaya MK dalam kebermanfaatannya dengan memberikan pemaknaan bersyarat pada sebuah norma yang dibuat oleh pembuat undang-undang,” jawab Suhartoyo.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.