JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan sejumlah mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar yang mengujikan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima. Demikian Amar Putusan yang diucapkan Ketua MK Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan dari Perkara Nomor 23/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (21/3/2024) di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1, MK.
Lebih jelas Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh membacakan pertimbangan hukum mahkamah bahwa objek perngujian para Pemohon berupa Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 UU 1/1946 yang juga menjadi objek permohonan dalam Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023. Atas permohonan tersebut, Mahkamah telah menyatakan dalam pokok permohonan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Oleh karena itu, norma Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 KUHP sudah tidak berlaku. Dengan demikian, berkenaan dengan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 KUHP yang diuji konstitusionalitasnya oleh para Pemohon harus dinyatakan kehilangan objek,” sebut Daniel dalam sidang yang dipimpin oleh ketua MK Suhartoyo dengan didamping oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta hakim konstitusi lainnya.
Baca juga:
Sejumlah Mahasiswa Pertanyakan Pemaknaan Batasan Penyebaran Berita Hoaks
Para Mahasiswa UIN Alauddin Makassar Perbaiki Kedudukan Hukum Uji Materiil KUHP
Sebelumnya pada Sidang Pendahuluan (21/2/2024) lalu, para Pemohon melalui Sri Rejeki Asri selaku kuasa dari para Pemohon menyebutkan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 KUHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. Sebab pada kedua norma tersebut tidak memberikan kriteria yang dimaksud dengan keonaran di kalangan rakyat, sehingga menimbulkan penafsiran yang subjektif dan sewenang-wenang dari penegak hukum. Di samping itu, pasal-pasal tersebut tidak memberikan batasan mengenai kerugian atau kerusakan yang harus ditimbulkan oleh berita atau pemberitaan bohong untuk dapat dikategorikan sebagai keonaran. Akibatnya, pasal tersebut dapat digunakan untuk menjerat siapa saja yang dianggap menyebarkan berita atau pemberitaan bohong tanpa memperhatikan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada.
Selain itu, Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 KUHP tidak sesuai dengan perkembangan zaman karena tidak mempertimbangkan adanya media sosial sebagai sarana komunikasi dan informasi yang dapat menjadi sumber dan korban dari berita bohong. Untuk itu, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 14 ayat 1 KUHP inkonstitusional sepanjang delik keonaran dimaknai sebagai huru-hara secara langsung atau kerusuhan fisik. Serta meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 15 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha