JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemohon Perkara Nomor 35/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menginginkan tidak adanya batasan usia pelamar kerja dalam lowongan pekerjaan. Menurut Pemohon yang merupakan warga Bekasi bernama Leonardo Olefins Hamonangan, pasal yang diuji ini membuka pintu bagi potensi diskriminasi karena pemberi kerja dapat memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan dan diskriminatif seperti usia, jenis kelamin, atau etnis.
“Dalam situasi di mana pemberi kerja dapat merekrut tenaga kerja tanpa melalui proses seleksi yang adil atau transparan, pemberi kerja dapat dengan mudah memanfaatkan keadaan tersebut untuk mengeksploitasi tenaga kerja dengan memberlakukan kondisi kerja yang tidak sesuai atau memberikan upah yang rendah. Hal ini dapat menciptakan ketidaksetaraan yang lebih besar dalam hubungan kerja,” ujar Leonardo di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Anwar Usman di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Dalam sidang yang digelar pada Senin (13/3/2024) dengan agenda perbaikan permohonan, Pemohon mengatakan, Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menghasilkan keterbatasan akses dan kesempatan bagi tenaga kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan dan keahlian mereka. Norma ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketidakjelasannya serta kurangnya pedoman dapat menyebabkan interpretasi yang berbeda-beda dalam praktiknya dan menciptakan konflik hukum antara pemberi kerja dan tenaga kerja atau pemberi kerja dan regulator.
Atas nasihat majelis hakim pada sidang sebelumnya, Pemohon juga menambahkan uraian perbandingan peraturan larangan diskriminasi persyaratan lowongan pekerjaan di negara lain, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Belanda. Menurutnya, Jerman memiliki peraturan yang rinci dan jelas terkait persoalan batas maksimal usia, persyaratan, pengalaman kerja, dan lain-lain.
“Mengenai batas usia maksimal dalam lowongan pekerjaan di negara Jerman sendiri harus objektif yang jelas dan masuk akal. Kemudian apabila tidak didasarkan tidak masuk akal maka setiap warga negara dapat melakukan gugatan secara perdata. Sangat disayangkan negara Indonesia tidak ada suatu aturan khusus atau spesifik memberikan kebebasan kepada warga negaranya apabila mengalami diskriminasi atas persyaratan lowongan pekerjaan,” kata dia.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja, dilarang melakukan diskriminasi dalam bentuk apapun sebagaimana yang dimaksud Pasal 5” atau “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja atau melalui pelaksanaan penempatan tenaga kerja, dan dilarang membuat klausul terhadap persyaratan persyaratan sebagai berikut: a. usia, b. Agama, c. Etnis, d. Suku, e. Ras, f. Gender, g. Pendidikan. Kecuali ada penilaian yang wajar dapat diterima secara obyektif dan dibenarkan secara Peraturan Perundang-undangan” atau “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja atau melalui pelaksanaan penempatan tenaga kerja, dilarang melakukan tindakan, pernyataan maupun bentuk lainnya yang terkesan menjatuhkan harkat martabat dan dapat menghambat tenaga kerja mengikuti seleksi lamaran pekerjaan”.
Sebelum menutup persidangan, Saldi Isra mengatakan, permohonan akan disampaikan ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk menentukan apakah permohonan akan diputus tanpa sidang pleno atau diputus setelah adanya sidang pleno. Dia juga mengingatkan mulai akhir pekan ini, MK akan masuk dan mulai fokus pada penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), sehingga Pemohon diminta bersabar.
“Tapi siapa tahu nanti kalau satu/dua hari ini kami sempat bisa membahasnya siapa tahu Saudara cepat mendapat kabar,” kata Saldi.
Baca juga: Syarat Rekrutmen Dianggap Diskriminatif, Warga Bekasi Uji UU Ketenagakerjaan
Sebagai informasi, dalam sidang agenda mendengarkan permohonan pada Selasa (5/3/2024) lalu, Pemohon mengatakan, berlakunya norma a quo dapat menyebabkan semakin maraknya angka pengangguran di Indonesia. Dia menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memberikan judul tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,32 persen dan rata-rata upah buruh sebesar 3,18 juta rupiah per bulan.
Selain itu, Pemerintah masih membiarkan praktik-praktik syarat lowongan kerja yang diskriminasi dan tidak melaksanakan konvensi ILO Tahun 1958 (Nomor 111) mengenai diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Secara umum, pasal dalam konvensi ILO memberikan tanggung jawab bagi negara untuk memastikan tidak ada diskriminasi dalam proses rekrutmen hingga pelaksanaan hubungan kerja.
Namun, pemerintah masih kerap melakukan pengumuman lowongan pekerjaan dan persyaratan lowongan kerja masih mencantumkan batas usia. Pemohon memberikan contoh unggahan akun Instagram Kementerian Ketenagakerjaan, yakni @kemnaker yang menampilkan beberapa lowongan pekerjaan dari sejumlah perusahaan dengan mencantumkan kualifikasi syarat usia maksimal. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan