JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 pada Kamis (14/3/2024). Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
Dalam persidangan MK yang digelar secara luring dari Ruang Sidang Pleno MK, Pemerintah yang diwakili oleh Aris Wahyudi selaku Staf Ahli Bidang Ekonomi Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan pada prinsipnya perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU 13/2003. Sebab, untuk menentukan kekuatan hukum suatu perjanjian, tidak terletak pada bentuknya, yaitu secara tertulis atau lisan, melainkan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata juncto Pasal 52 UU 13/2003.
Menurutnya, UU 13/2003 mengatur perjanjian kerja dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu PKWT dan PKWTT. “Untuk PKWTT dapat dibuat dalam bentuk tertulis atau lisan. Sedangkan untuk ketentuan PKWT dalam Pasal 51 ayat (2) UU 13/2003 dipersyaratkan harus secara tertulis, hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian kepada pekerja/buruh dalam hal PKWT dilakukan secara tertulis,” ujarnya di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.
Aris juga menyampaikan, pengaturan perjanjian PKWT harus dibuat tertulis juga diatur kembali dalam ketentuan Pasal 81 angka 13 Pasal 57 UU 6/2023 yang mengubah Pasal 57 UU 13/2003 yang menyebutkan bahwa PKWT dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin, dan apabila ada PKWT dibuat secara lisan berarti tidak memenuhi ketentuan sebagai PKWT sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) UU 13/2003 dan ketentuan Pasal 81 angka 13 Pasal 57 UU 6/2023 yang mengubah Pasal 57 UU 13/2003.
Dengan dicantumkannya ketentuan perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 81 angka 13 Pasal 57 UU 6/2023 yang mengubah Pasal 57 UU 13/2003, justru menguntungkan dan memberikan kepastian kepada pekerja/buruh dalam hal pembuktian pada saat terjadi perselisihan. Penghapusan ketentuan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (5) UU 13/2003 yang mengatur perpanjangan jangka waktu PKWT oleh UU 6/2023 tidak menghilangkan esensi pengaturan pembaharuan atau perpanjangan jangka waktu PKWT.
Dikatakan Aris, pelaksanaan atas perpanjangan jangka waktu PKWT pada prinsipnya tetap harus didasarkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak, yakni pengusaha dan pihak pekerja/buruh yang membuat PKWT. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pemerintah sebelumnya di atas, yakni bahwa perjanjian kerja termasuk diantaranya PKWT pembuatannya harus memenuhi unsur-unsur ketentuan Pasal 52 UU 13/2003 yang mengatur bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar (a) kesepakatan kedua be/ah pihak, (b) kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, (c) adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan (d) pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusi/aan dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pengaturan PKWT
Menurut Pemerintah, sambung Aris, para Pemohon telah keliru memahami pengaturan PKWT dalam ketentuan Pasal 81 angka 15 Pasal 59 UU 6/2023 yang menghapus ketentuan Pasal 59 ayat (4) dan ayat (6) UU 13/2003, menurut Para Pemohon dengan dihapuskannya ketentuan a quo pekerja/buruh berpotensi pekerja/buruh dapat dikontrak dalam waktu yang panjang bahkan seumur hidup. Bahwa pada dasarnya pengaturan PKWT dalam UU 6/2023 ditujukan kepada pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (vide Pasal 81 angka 15 Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2023). Lebih lanjut ketentuan Pasal 81 angka 15 Pasal 59 ayat (3) UU 6/2023 mengatur PKWT yang tidak berdasarkan ketentuan Pasal 81 angka 15 Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2023 demi hukum menjadi PKWTT.
“Pengaturan PKWT berdasarkan jangka waktu atau selesainya pekerjaan tertentu diatur dalam UU 6/2023 dan PP 35/2021. Mengenai jenis dan sifat pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama adalah pekerjaan yang penyelesaiannya tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Dalam hal ini PKWT dapat dibuat kurang dari 5 (lima) tahun dan apabila pekerjaan tersebut masih belum selesai karena sesuatu sebab/alasan, maka PKWT dapat diperpanjang,” terang Aris.
Berkaitan dengan hal ini juga ada batasannya, sambung Aris, PKWT yang disepakati pertama dan perpanjangannya tersebut tetap tidak boleh lebih dari 5 (lima) tahun, begitu juga PKWT yang jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya, maka ruang lingkup dan batasan pekerjaan tersebut dinyatakan selesai, harus dicantumkan secara jelas dalam PKWT. Begitu pula dengan lamanya waktu penyelesaian pekerjaan tersebut harus dicantumkan. Jadi batasan waktu PKWT dalam PP 35/2021 merupakan konsekuensi hukum dari UU 6/2023 yang mengatur prinsip tidak dapat dibuat untuk pekerjaan yang bersifat tetap (hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang bersifat sementara).
Pengakhiran Hubungan Kerja
Aris juga menerangkan, pengakhiran PKWT sebelum berakhirnya jangka waktu PKWT bukanlah perbuatan yang dilarang oleh UU bidang ketenagakerjaan, baik dalam UU 13/2003 maupun UU 6/2023. Pada dasarnya terciptanya hubungan kerja didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yang melibatkan pengusaha dan pekerja (vide Pasal 52 UU 13/2003), sehingga jika dikemudian hari terdapat salah satu pihak memilih untuk tidak bersepakat dalam melanjutkan hubungan kerjanya, maka pengakhiran PKWT sebelum berakhinya jangka waktu sangat dimungkinkan dapat terjadi.
Meskipun UU bidang ketenagakerjaan tidak melarang pengakhiran hubungan kerja PKWT sebelum berakhirnya jangka waktu PKWT, pada prinsipnya UU bidang ketenagakerjaan tetap mengatur pemberian perlindungan bagi pihak-pihak yang dirugikan atas dampak pengakhiran hubungan kerja PKWT sebelum berakhirnya jangka waktu PKWT berupa pembayaran uang ganti rugi sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 62 UU 13/2003.
Dengan demikian, sambungnya, terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 81 angka 16 Pasal 61 ayat (1) huruf c UU 6/2023 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 280 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak benar. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang hak konstitusionalnya dirugikan. Dengan demikian sudah sepatutnya Majelis Hakim MK menolak permohonan a quo.
Pemberian Uang Ganti Rugi
Pada kesempatan yang sama, Pemerintah juga menegaskan, ketentuan kewajiban pemberian uang ganti rugi atas pengakhiran PKWT sebelum berakhirnya jangka waktu PKWT ketentuannya diatur dalam Pasal 62 UU 13/2003. Ketentuan Pasal 62 UU 13/2003 tersebut tidak mengalami perubahan atau dicabut oleh UU 6/2023, dengan demikian dalam hal pekerja/buruh dengan hubungan kerja PKWT yang diputus perjanjian kerjanya oleh pengusaha sebelum berakhirnya PKWT, pekerja/buruh a quo tetap berhak memperolah uang ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 62 UU 13/2003.
“UU 6/2023 tidak menghapus ketentuan pemberian ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 62 UU 13/2003, di samping itu UU 6/2023 juga mengatur pemberian uang kompensasi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal Pasal 81 angka 17 Pasal 61A UU 6/2023. Dengan demikian, merujuk pada kedua ketentuan tersebut, pengaturan hak dan kewajiban dalam pemberian uang ganti rugi dan kompensasi masih tetap berlaku,” tandas Aris.
Aris pun menegaskan, ketentuan Pasal 81 angka 18 Pasal 64 UU 6/2023 secara tegas telah mengamanatkan ''penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan diatur dalam Peraturan Pemerintah" sehingga sudah sangat jelas mengenai jenis kegiatan atas pelaksanaan sebagian pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan ditetapkan oleh Pemerintah yang artinya dengan penetapan tersebut pemerintah akan membatasi tidak semua jenis pekerjaan dapat dialihdayakan.
Hal ini bertujuan memberikan kejelasan kepada perusahaan dalam mengalihdayakan suatu pekerjaan kepada perusahaan alih daya hanya dapat dilakukan terhadap pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dengan konsep alih daya sekarang akan memberikan manfaat kepada pekerja/buruh berupa kesempatan kerja yang lebih luas, mendapatkan pengalaman kerja untuk memasuki pasar kerja yang lebih baik, dan memberikan peluang kerja sebagai pekerja tetap sekaligus memberikan manfaat kepada pengusaha untuk fokus menjalankan bisnis utama, peluang mengembangkan usaha, dan peluang memberikan kesejahteraan yang lebih baik kepada pekerja/buruh. Dengan demikian justru pengaturan a quo memberikan perlindungan yang lebih baik kepada pekerja/buruh.
Dalam persidangan tersebut, Pemerintah juga menegaskan perhitungan hak atas PHK pekerja/buruh akibat dari alasan PHK sebagaimana di atas, akan diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 81 angka 45 Pasal 154A ayat (3) UU 6/2023. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 12 UU PPP, bahwa "materi muatan peraturan pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Baca juga:
Partai Buruh dan Serikat Pekerja Uji 12 Klaster UU Cipta Kerja
Kurangi Pasal yang Diuji, Partai Buruh Kuatkan Alasan UU Cipta Kerja Inkonstitusional
Pemerintah Belum Siap, MK Tunda Sidang UU Cipta Kerja
Sebelumnya, para Pemohon menguji 12 klaster, tiga pasal, dan sekitar 50 norma dalam UU Cipta Kerja. Adapun klaster-klaster dimaksud yaitu, Lembaga Pelatihan Kerja; Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja; Tenaga Kerja Asing; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); Pekerja Alih Daya (Outsourcing); Waktu Kerja; Cuti; Upah dan Upah Minimum; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK); Penghapusan Sanksi Pidana; dan Jaminan Sosial. Para Pemohon mendalilkan pasal-pasal yang diuji tidak mencerminkan jaminan dan perlindungan hukum yang adil bagi tenaga kerja dan oleh karenanya bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Para Pemohon dalam 93 poin petitum antara lain meminta MK menyatakan tanda baca “titik koma (;)” dan kata “atau” setelah frasa “lembaga pelatihan kerja swasta” dalam Pasal 81 angka 1 UU 6/2023 yang mengubah dan memuat ketentuan Pasal 13 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b berbunyi: “b. lembaga pelatihan kerja swasta”. Kemudian menyatakan Pasal 81 angka 3 UU 6/2023 yang mengubah dan memuat ketentuan Pasal 37 ayat (1) huruf b UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “lembaga penempatan tenaga kerja swasta berbadan hukum”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina