JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemerintah harus menetapkan aturan batas terbawah untuk gaji dosen di perguruan tinggi swasta (PTS) di atas upah minimum regional (UMR). Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Konstitusi Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan Muhammad Asrun yang menjadi ahli dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2023. Perkara tersebut menguji secara materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) terkait kewajiban badan penyelenggara memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan.
“Semestinya negara hadir dengan menetapkan gaji dosen minimum yang harusnya di atas UMR, mengingat untuk menjadi dosen syaratnya adalah minimum berpendidikan S2 dan wajib melanjutkan S3 dengan biaya yang tidak murah,” ujar Arsun di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (13/3/2024).
Asrun menjelaskan, Pemerintah harus segera menetapkan aturan batas terbawah gaji untuk dosen dengan kualifikasi terendah harus di atas UMR sekian persen sebagai pijakan untuk menentukan berbagai jenjang gaji dengan kualifikasi dosen yang berbeda. Menurut dia, gaji dosen PTS seharusnya tidak saja berstandar UMR di provinsi, tetapi kehidupan yang layak untuk pribadi dan fasilitas kegiatan ilmiah.
Pendapatan badan penyelenggara pendidikan di bawah yayasan memang relatif baik dilihat dari kegiatan pembangunan fisik prasarana perkuliahan, tetapi tidak untuk peningkatan gaji dan insentif dosen yang seharusnya dilakukan secara berkala. Karena itu, Pemerintah perlu melakukan audit tata kelola dan keuangan untuk memastikan kemampuan yayasan penyelenggara pendidikan dalam memenuhi standar gaji dosen sebagaimana aturan yang berlaku, termasuk menghindari praktik menyimpang terkait hubungan pelaku profesi dengan penyedia kerja profesi.
Selain itu, Asrun juga menyampaikan Pemerintah juga harus menyertakan daya paksa dalam ketentuan aturan tersebut dengan berbagai alternatif konsekuensi sanksi, mulai dari memberikan gaji tenggang waktu terbatas untuk penyesuaian cash flow guna pemenuhan standar gaji, merger, ataupun konsolidasi dengan yayasan dengan profil serupa. Paling penting pemerintah tidak menunda pembayaran insentif sertifikasi dosen, tunjangan penelitian, tunjangan kehormatan guru besar, serta investasi dan pengembangan.
“Saya memahami kewajiban pemerintah dalam mengalokasikan anggaran 20 persen dari APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) atau APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) dengan memasukkan gaji dosen PTN, tetapi tidak mencantumkan gaji dosen PTS. Namun, seharusnya pemerintah melalui Kemenristekdikti (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi) tetap memberikan insentif bagi seluruh dosen perguruan tinggi termasuk dosen PTS dengan nomenklatur uang sertifikasi dosen atau uang riset secara berkala dan tepat waktu,” ucap Asrun.
Asrun juga menegaskan, tunjangan finansial bagi dosen tidak sekadar untuk kepentingan bertahan hidup, seperti gaji untuk pemenuhan hidup rumah tangga dan transportasi ke kampus. Sebab, dosen juga memiliki kewajiban untuk melakukan riset dan menerbitkan makalah di jurnal-jurnal nasional maupun menerbitkan buku-buku hasil riset tersebut dengan memerlukan dana yang besar.
“Jika dosen menerima dana penelitian, laporan pertanggung jawabannya dirasa begitu detail dan rumit, sehingga menjadi kendala tersendiri bagi profesi dosen. Padahal tidak semua pengeluaran riset itu dapat dibuktikan dengan bukti pengeluaran tertulis, seperti ‘ngopi-ngopi di warung tegal’,” kata Asrun.
Baca juga:
Mempertanyakan Peran Negara dalam Kesejahteraan Dosen Perguruan Tinggi Swasta
Dugaan Ketimpangan Gaji dan Tunjangan, Dosen PTS Sempurnakan Permohonan
Kemendikbud: Tidak Ada Alokasi Gaji Pokok dan Tunjangan Untuk Dosen PTS
Dosen PTS Akui Terima Gaji Hanya Rp 300 Ribu
Sebagai informasi, Asrun menjadi ahli yang dihadirkan Pemohon untuk perkara yang menguji norma Pasal 70 ayat (3) UU Dikti yang berkaitan dengan kewajiban badan penyelenggara memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga pendidikan. Pemohon yang terdiri dari dua dosen PTS, yakni Teguh Satya Bhakti dan Fahmi Bachmid yang menyatakan, pembebanan kewajiban pemberian gaji pokok dosen PTS hanya kepada badan penyelenggara jelas berdampak pada timbulnya ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan gaji pokok dosen. Ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan itu tidak hanya terjadi antara gaji pokok dosen PTS dan dosen PTN, melainkan juga terjadi antara sesama dosen PTS. PTS yang berada di bawah naungan badan penyelenggara dengan kemampuan sumber daya keuangan yang tinggi dan berkedudukan di daerah dengan ketentuan upah minimum yang tinggi, tentu akan memberikan gaji pokok yang tinggi pula kepada para dosennya.
Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan, Pemohon meminta agar pemberian gaji pokok serta tunjangan dosen PTS dibebankan pada APBN atau APBD. Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 70 ayat (3) UU Dikti sepanjang frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikut sepanjang tidak dimaknai “Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina