JAKARTA, HUMAS MKRI – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyebut seharusnya negara bertanggung jawab penuh untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi dengan kemampuan negara saat ini tetap membutuhkan partisipasi dan peran masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Taufik Basari dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), pada Rabu (6/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Bahwa apa yang diungkapkan para pemohon pada positanya memang benar seharusnya negara harus hadir dan bertanggung jawab penuh bagi warga negaranya. Tetapi dengan kemampuan negara saat ini, negara tetap membutuhkan peran serta masyarakat untuk juga ikut bersama-sama meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan ikut berpartisipasi meningkatkan kehidupan dalam hal Pendidikan,” ungkap Taufik menanggapi perkara yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) bersama tiga Pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum tersebut.
Dikatakan Taufik, standar nasional pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem Pendidikan di seluruh wilayah NKRI yang digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga Pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan. Luasnya wilayah Indonesia, persebaran penduduk dan kemampuan keuangan negara menjadi permasalahan dalam pemerataan akses pendidikan dan upaya meningkatkan mutu pendidikan Indonesia secara menyeluruh.
“Oleh karena itu, kondisi ideal sebagaimana disampaikan oleh para pemohon hanya bisa dilakukan manakala keuangan negara telah mencapai tahap yang memungkinkan untuk menanggung seluruh kebutuhan penyelenggara pendidikan dan seluruh warga negara terpenuhinya hak konstitusional atas pendidikan bermutu dan merata di seluruh wilayah NKRI termasuk di wilayah daerah-daerah terpencil,” ungkap Taufik.
Butuh Panduan
Taufik menambahkan hal ini merupakan visi penyelenggara pendidikan nasional, yakni seluruh warga negara mengenyam pendidikan sekurang-kurangnya pada jenjang pendidikan dasar dengan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang diupayakan pencapaiannya secara bertahap. Tentunya hal ini membutuhkan proses yang tidak mudah dan waktu yang tidak singkat.
Dengan adanya perkara pengujian a quo, sambung Taufik, maka DPR RI berharap agar Mahkamah Konstitusi dapat memberikan pertimbangan hukum untuk dapat memberikan masukan atau landasan bagi DPR RI dan Pemerintah untuk ke depannya mengatur mengenai wajib belajar tanpa biaya ini dalam undang-undang di masa yang mendatang.
“Agar kemudian harapan-harapan yang juga tadi disampaikan oleh Para Pemohon dan agar seluruh warga Negara Indonesia dalam kewajibannya untuk menjalankan wajib belajar dan dalam kewajiban negara untuk memastikan tidak ada biaya untuk pendidikan dasar ini dapat terpenuhi, ya, di tengah-tengah keterbatasan anggaran yang kita miliki. Terhadap pengujian ketentuan pasal a quo tersebut, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai konstitusionalitasnya,” ucap Taufik di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.
Menanggapi keterangan DPR tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan ia terkejut setelah mengetahui telah ternyata alokasi anggaran untuk pendidikan tinggi yang dikelola oleh DIKTI itu hanya 2,7 persen dari anggaran yang ditentukan oleh Konstitusi.
“Kalau dibaca dari konstitusi memang ditentukan, artinya ditentukan prioritas sekurang-kurangnya 2,5 persen alokasi APBN untuk kebutuhan pendidikan yang kemudian menjadi satu pertanyaan adalah ketika ada formulasi dalam Pasal 34 ayat (2) itu tadi dinyatakan alokasi ini sangat terbatas. Justru yang ingin kami dapatkan nanti tolong bisa dielaborasi bagaimana sesungguhnya desain alokasi anggaran penyelenggaran Pendidikan agar dapat mencukupi kebutuhan tersebut. Karena bagaimana pun juga kebutuhan pendidikan dasar sebagai landasan pendidikan,” tegas Enny.
Menjawab pertanyaan tersebut, Taufik kembali menegaskan pentingnya MK memutus perkara ini karena DPR dan Pemerintah membutuhkan guidance constitutional mengenai arah alokasi anggaran pendidikan ke depannya.
“Kenapa ini menjadi penting? Karena kita membutuhkan juga guidance politik hukum, ya, terkait dengan hal ini. Kenapa di dalam keterangan DPR yang tadi saya sampaikan kami membuka dengan bahwa tujuan negara itu adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, kemudian ada Pasal 28C, ada Pasal 31. Karena memang ternyata di dalam Konstitusi, hal mengenai mencerdaskan kehidupan bangsa dan kemudian penjabarannya melalui pendidikan sampai bahkan satu-satunya pasal yang menyebutkan soal alokasi anggaran, ini hanya di soal pendidikan,” sebut Taufik.
Baca juga:
JPPI Minta Pendidikan Dasar Sekolah Swasta Bebas Biaya
JPPI Tambahkan Perbandingan Sekolah Dasar Swasta Gratis dari Berbagai Negara
Sebagai tambahan informasi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diuji secara materiil ke MK. Permohonan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) bersama tiga Pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Para Pemohon menguji norma Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Selengkapnya Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
Dalam sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (23/01/2024), para Pemohon menyatakan bahwa frasa tersebut multitafsir, karena hanya pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya. Pemohon mendalilkan jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya hanya dilakukan di sekolah negeri. Sedangkan jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah swasta tetap dipungut biaya. Sehingga Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” UU Sisdiknas telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi pendidikan.
Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha