JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonannya mengenai pengujian Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Para Pemohon menambahkan uraian terkait kerugian konstitusional yang potensial terjadi akibat mencantumkan spa sebagai bagian dari jasa hiburan yang dikenakan tarif Pajak Barang Dan Jasa Tertentu (PJBT) sebesar 40-75 persen dalam norma yang diuji tersebut.
Kuasa hukum para Pemohon, Mohammad Ahmadi mengatakan, kerugian yang dimaksud berdampak pada ekonomi maupun sosial. Dia menuturkan, norma Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD merusak upaya para Pemohon yang selama ini membangun usaha spa sebagai bagian usaha di bidang kesehatan tradisional warisan budaya bangsa yang kebanyakan ialah Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM). Kemudian, timbul pencitraan yang berkesan negatif dari ketentuan yang memasukkan usaha spa dalam kategori yang disamakan dengan bisnis hiburan malam, kelab malam, bar, dan diskotek.
“Kerugian ekonomi berupa pengenaan pajak yang tinggi sebesar 40 persen potensi bangkrutnya usaha spa sebagai pengenaan pajak yang tinggi tersebut,” ujar Ahmadi dalam sidang perbaikan permohonan yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Arsul Sani pada Senin (4/3/2024) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Selain itu, berpotensi juga adanya tarif pajak berganda dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sekaligus tarif PJBT. Potensi bangkrutnya usaha spa sebagai akibat pengenaan tarif pajak yang tinggi tersebut menimbulkan potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi Pemohon perorangan yang bekerja di bidang usaha spa.
Para Pemohon juga memperbaiki kedudukan hukum, kewenangan Mahkamah Konstitusi, alasan-alasan pokok permohonan, serta petitum. Dalam petitumnya itu, para Pemohon meminta Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Para Pemohon meminta MK memaknai norma tersebut tanpa mencantumkan frasa “dan mandi uap/spa”.
Sebelumnya, perkara ini dimohonkan oleh 22 Pemohon yang terdiri dari badan hukum perkumpulan atau organisasi (Pemohon I-II), badan hukum privat (Pemohon III-IX), dan perorangan (Pemohon X-XXII) yang berkaitan dengan usaha kesehatan spa. Para Pemohon mendalilkan norma Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945. Pasal 55 ayat (1) huruf l berbunyi, “Jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 huruf e meliputi: l. Diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.” Pasal 58 ayat (2) menyatakan, “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).”
Para Pemohon merasa dirugikan karena usaha spa yang bergerak dalam bidang kesehatan kemudian dikategorikan sebagai penyedia jasa kesenian dan hiburan yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar. Akibatnya, pengusaha spa harus menanggung tarif PBJT sebesar 40-75 persen yang dikenakan pemerintah daerah (pemda). Sementara, usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi hanya dikenakan tarif PBJT sebesar 10 persen.
Menurut para Pemohon, seharusnya mandi uap/spa yang merupakan jasa pelayanan kesehatan tradisional tidak dimasukkan dalam kategori jasa seni dan hiburan yang dikelompokan bersama diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar. Para Pemohon merasakan ketidakadilan dan berimbas pada masyarakat yang bisa dirugikan karena pengusaha SPA akan menambah biaya PBJT sebesar 40-75 persen untuk setiap jasa perawatan kesehatan SPA kepada konsumen/klien. Hal ini kemudian berbuntut pada minat masyarakat menurun untuk melakukan perawatan tubuh melalui jasa SPA. Untuk itu, para Pemohon meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan inkonstitusional. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina