JAKARTA, HUMAS MKRI – Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HPPD) setelah dua tahun disahkan, menuai polemik. Polemik hadir dengan naiknya tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang ditetapkan paling rendah 40 – 75 persen. Salah satunya dengan mencantumkan spa sebagai bagian dari jasa hiburan hingga dikenai kenaikan PBJT tersebut.
Sejumlah pengusaha yang bergerak di bidang jasa pelayanan Kesehatan mandi uap atau juga dikenal dengan spa menguji aturan PBJT dalam UU HPPD. Tercatat 22 warga negara mengajukan permohonan pengujian Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HPPD ke Mahkamah Konstitusi (MK). Secara umum, kuasa hukum para Pemohon, Mohammad Ahmadi mengatakan, para Pemohon menginginkan agar mandi uap atau spa dikeluarkan dalam kategori jasa kesenian dan hiburan yang khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) ditetapkan paling rendah 40-75 persen.
“Permohonan kami agar supaya spa itu dikeluarkan dari hiburan karena memang spa itu domainnya ada di bidang kesehatan, itu Yang Mulia,” ujar Ahmadi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih pada Selasa (20/2/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Menurut para Pemohon, kedua norma tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Pasal 55 ayat (1) huruf l berbunyi, “Jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 huruf e meliputi: l. Diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.” Pasal 58 ayat (2) menyatakan, “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).”
Kuasa hukum Pemohon lainnya, Muhammad Hidayat Permana lebih lanjut menjelaskan, para Pemohon merasa dirugikan karena usaha spa yang notabenenya bergerak dalam bidang kesehatan kemudian dikategorikan sebagai penyedia jasa kesenian dan hiburan disamakan dengan diskotik, karaoke, kelab malam, dan bar. Akibatnya, pengusaha spa harus menanggung tarif PBJT sebesar 40-75 persen yang dikenakan pemerintah daerah (pemda). Sementara, usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi hanya dikenakan tarif PBJT sebesar 10 persen.
Menurut para Pemohon, seharusnya mandi uap atau spa yang merupakan jasa pelayanan kesehatan tradisional tidak dimasukkan dalam kategori jasa seni dan hiburan yang dikelompokkan bersama diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar. Para Pemohon merasakan ketidakadilan dan berimbas pada masyarakat yang bisa dirugikan karena pengusaha SPA akan menambah biaya PBJT sebesar 40 – 75 persen untuk setiap jasa perawatan kesehatan SPA kepada konsumen/klien. Hal ini kemudian berbuntut pada minat masyarakat menurun untuk melakukan perawatan tubuh melalui jasa SPA.
“Jadi penambahan masuknya di dalam pemungutan pajak hiburan ini akan menambah beban biaya para Pemohon sehingga akan jelas merugikan secara keuangan para Pemohon itu sendiri,” kata Hidayat.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihatnya, menegaskan Mahkamah tidak menangani kasus konkret, sehingga para Pemohon seharusnya mengkonstruksikan dengan baik pertentangan antara norma Pasal 55 ayat (1) huruf l serta Pasal 58 ayat (2) UU HPPD dan batu uji dalam UUD 1945 yang diajukan. Enny juga mengingatkan agar para Pemohon tidak perlu menguraikan argumentasi yang tidak relevan dengan substansi permohonan.
“Itu tolong nanti menjadi hal yang sangat penting ya. Jadi nanti enggak cerita soal spanya saja, tetapi yang Anda ceritakan pertentangan normanya itu,” ucap Enny.
Kemudian, Anwar Usman menyarankan para Pemohon mengelaborasi permohonan mulai dari usaha spa berubah menjadi jasa kesenian dan hiburan hingga adanya kenaikan tarif pajak yang mengakibatkan hak konstitusional dirugikan. Sementara, Arief Hidayat meminta para Pemohon menpertajam narasi hukum dalam posita atau alasan-alasan permohonan serta perbandingan dengan negara lain.
“Terakhir yang harus diperbaiki adalah petitumnya, itu yang harus Anda perhatikan,” kata Arief.
Sebelum menutup persidangan, Arief menginformasikan, para Pemohon dapat mengajukan perbaikan permohonan paling lambat diterima Mahkamah pada Senin, 4 Maret 2024 pukul 09.00 WIB. Setelah perbaikan permohonan masuk, Mahkamah akan menjadwalkan sidang pemeriksaan perbaikan permohonan. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina