JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengenai pembekuan partai politik (parpol) sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) Perkara Nomor 15/PUU-XXII/2024 ini dimohonkan oleh seorang mahasiswa bernama Teja Maulana Hakim. Sidang perdana perkara ini digelar pada Senin (12/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam permohonannya, Pemohon mempersoalkan Pasal 48 ayat (2) UU Parpol yang menyatakan, “Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling laman 1 (satu) tahun”. Serta Pasal 48 ayat (3) UU Parpol menyatakan, “Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi”.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, Pemohon yang diwakili oleh Albert Ola Masan Setiawan Muda menerangkan Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (3) UU Parpol yang diuji. Permohonan serupa juga pernah diajukan dan telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi 53/PUU-IX/2011 dengan batu uji Pasal 1 Ayat (2), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28H Ayat (3), Pasal 28C Ayat (1), Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Permohonan Pemohon tidak nebis in idem karena alasan berbeda walaupun menggunakan batu uji yang sama, yaitu Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2023.
Albert menerangkan, Pemohon beralasan bahwa pembubaran partai politik melalui MK bersifat terbatas. Lebih lanjut, Pasal 40 ayat (2) UU Parpol dinilai Pemohon tidak menyatakan secara eksplisit mengenai pembubaran parpol dengan sebab anggota parpol yang memangku jabatan publik melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, Pemohon menyampaikan bahwa Pasal 40 ayat (2) khususnya kata “dan” pada kalimat “Partai Politik dilarang: a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau” menimbulkan masalah sehingga lebih tepat menggunakan kata “atau”. Dalam keyakinan Pemohon, kata “dan” pada pasal a quo akan lebih tepat digunakan pada permohonan pembubaran partai politik, bukan pembekuan.
Menurut Pemohon, Indonesia telah mengakui dan menjamin perlindungan terhadap kemerdekaan berserikat serta berkumpul dari warga negaranya melalui Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan keberadaan hak untuk berserikat dan berkumpul. “Terhadap pelanggaran Pasal 40 ayat (2) UU Parpol sangatlah membahayakan serta mengancam kedaulatan, persatuan dan kesatuan bangsa dan oleh sebab itu sangat mendesak untuk segera diberantas, sehingga diperlukan jenis sanksi dan penerapannya yang bersifat luar biasa, yakni langsung berupa pembubaran Partai Politik, tanpa terlebih dahulu dilakukan pembekuan. Hal ini juga dijelaskan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,” terang Albert.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 48 ayat (2) UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terhadap Pasal 48 ayat (3) UU Parpol, Pemohon meminta MK agar menyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Partai Politik yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.”
Saran Perbaikan
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan Pemohon dalam permohonannya belum menguraikan kerugian hak konstitusional yang dialami. Kemudian, Pemohon harus menjelaskan kerugian yang dimaksud bersifat actual atau potensial.
“Kerugian hak konstitusionalnya belum Anda diuraikan, apa sesungguhnya kerugian hak konstitusional dengan berlakunya dua norma itu? Ini tidak ada uraiannya karena ada lima syarat kerugian hak konstitusional itu. Benar haknya? Benar tidak kerugian tuh memang kemudian terjadi karena adanya sesuatu yang sifatnya aktual atau potensial yang bisa Anda uraikan secara spesifik,” tegas Enny.
Sementara Wakil Ketua MK Saldi Isra meminta Pemohon untuk menjelaskan kedudukan hukum. Lantas, Pemohon harus menguraikan alasan mengajukan permohonan pasal ini. “Itu yang belum kelihatan di permohonan Anda. Berikutnya, di alasan-alasan permohonan Anda poin pertamanya menyatakan berbeda alasannya, kalau dasar hukumnya telah dijelaskan. Tidak terlalu penting. Ini berbeda alasannya. Tetapi Anda tidak cantumkan di sini,” ujar Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi menyampaikan para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan selambatnya diterima Kepaniteraan MK pada Senin, 26 Februari 2024 pukul 09.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha