JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Perkara Nomor 167/PUU-XXI/2023 tidak dapat diterima. Perkara ini berkaitan dengan permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 27 dan Pasal 240 ayat (1) huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai ketentuan bakal calon anggota legislatif DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi syarat menjadi anggota partai politik peserta pemilu.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno pengucapan putusan pada Rabu (31/1/2024).
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan, setelah Mahkamah kaitkan dengan pokok/inti yang dimohonkan, substansi posita dan petitum Pemohon perihal norma Pasal 1 angka 27 UU Pemilu tidak sejalan atau terdapat pertentangan. Ada petitum demikian sesungguhnya tidak sejalan dengan keinginan Pemohon untuk membuka kesempatan bagi calon dari jalur perseorangan untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Kemudian, pada bagian posita, Pemohon menyatakan Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang “tidak dimaknai”. Sementara di sisi lain, pada bagian petitum, Pemohon menyatakan norma Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai. Seharusnya agar tidak terdapat pertentangan antara posita dan petitum, Pemohon mencantumkan pula kata “tidak” pada frasa “sepanjang dimaknai” supaya menjadi “sepanjang tidak dimaknai” sehingga sejalan dengan yang dinyatakan dalam posita.
Saldi melanjutkan, terdapat ketidaksesuaian antara alasan-alasan permohonan (posita) dan yang dimohonkan (petitum) kepada Mahkamah. Dengan demikian, Mahkamah tidak ragu untuk menyatakan permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 74 ayat (1) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 yang menyatakan Mahkamah dapat menyatakan permohonan tidak jelas atau kabur antara lain karena: a. adanya ketidaksesuaian antara dalil dalam posita dengan petitum.
“Menimbang bahwa oleh karena Permohonan Pemohon kabur, terhadap kedudukan hukum, pokok permohonan dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya,” kata Saldi.
Baca juga:
Mencari Celah Jadi Anggota DPR Lewat Jalur Perseorangan
Ketentuan Pencalonan Caleg DPR Lewat Jalur Parpol Diuji ke MK
Sebagai informasi, Perkara Nomor 167/PUU-XXI/2023 diajukan seorang advokat bernama M Robby Candra yang mencari celah untuk bisa menjadi calon legislatif (caleg) anggota DPR ataupun DPRD dari jalur perseorangan. Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak bisa menjadi calon anggota DPR maupun DPRD sebab tidak memenuhi persyaratan sebagai anggota partai politik peserta pemilu.
Pasal 1 angka 27 UU Pemilu tersebut berbunyi, “Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Prisiden dan Wakil Presiden.” Kemudian, Pasal 240 ayat (1) berbunyi, “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: huruf n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu.”
Pemohon menjadikan Pasal 28D ayat (3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar pengujian. Menurut Pemohon, persyaratan menjadi anggota partai politik peserta pemilu untuk pencalonan anggota DPR maupun DPRD merupakan bentuk diskriminasi terhadap individu atau perorangan warga negara Indonesia. Karena itu, Pemohon mengatakan, norma tersebut bertentangan dengan hak konstitusional yang diatur UUD bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Namun dalam Petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 27 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai, “Peserta Pemilu adalah partai politik dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.” Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai “(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: huruf n. anggota partai politik peserta pemilu atau perseorangan. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim