JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan atas uji formil dan materiil terhadap Pasal 137 ayat (2) huruf c dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Sidang Perkara Nomor 164/PUU-XX/2023 tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dengan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang dilaksanakan pada Rabu (17/1/2024).
Anisitus Amanat Gaham yang berprofesi sebagai notaris di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah menjadi Pemohon perkara menyebutkan hal-hal yang telah disempurnakan pada permohonannya. Di antaranya, menambah Pemohon atas nama Budi Winarno sehingga Pemohon menjadi dua, penyempurnaan kewenangan Mahkamah, dan kedudukan hukum kedua Pemohon yang telah disesuaikan dengan PMK 2/2021 beserta uraiannya.
“Kerugiannya pekerjaan saya tidak dapat berlangsung, sehingga tidak ada penghasilan saya. Lalu saya uraikan alasan permohonan, sehingga petitumnya telah disesuaikan dengan petunjuk hakim konstitusi. sehingga petitumnya, …. ; Menyatakan norma pada terhadap Pasal 137 ayat (2) huruf c dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 bersifat konstitusional bersyarat,” sebut Anisitus yang disampaikan langsung dari Ruang Sidang Panel MK.
Baca juga: Notaris Pertanyakan Uang Wajib Tahunan Atas Hak Pengelolaan Tanah dalam UU Cipta Kerja
Pada Sidang Pendahuluan pada Rabu (20/12/2023) lalu, Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut memuat kewajiban pihak ketiga untuk membayar Uang Wajib Tahunan (UWT) kepada pemegang Hak Pengelolaan sebagai kompensasi dari pemanfaatan bagian tanah hak pengelolaan. Dalam kasus konkret, Pemohon atas dasar kepercayaan mengurus pembaruan dari 750 sertifikat dari Hak Guna Bangunan (HGB) yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan (HPL). Terdapat 42 sertifikat HGB hasil pembaruan berlaku hingga 2024 dan 2041, namun sisanya ditunda pengurusannya sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan oleh Kantor Pertanahan Kota Semarang. Lebih jelas Anisitus bercerita bahwa para pemilik sertifikat harus mendapatkan surat rekomendasi atas peralihan HGB di atas HPL karena pada peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah terdapat ketentuan tarif uang wajib tahunan bagi pihak ketiga yang memperoleh bagian tanah hak pengelolaan berdasarkan perjanjian pemanfaatan tanah. Hal ini kemudian diujikan Pemohon ke MA dan dalam putusannya, Majelis Hakim MA berpendapat pengaturan mengenai rekomendasi dan tarif tersebut merupakan norma yang telah diatur dalam UU Cipta Kerja. Pemohon mempertanyakan kenapa hal ini berlaku surut. Pemohon menilai ada kekosongan norma hukum terkait pengaturan tanah hak pengelolaan dalam UU Cipta Kerja. Untuk itu, ia meminta agar Mahkamah menambah rumusan norma baru dalam satu pasal tersendiri atau ayat tambahan pada pasal yang sudah ada. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina