JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pada Selasa (16/01/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Leonardo Siahaan yang merupakan seorang karyawan swasta.
“Mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 67/PUU-XXI/2023.
Sebelumnya, Leonardo menguji Pasal 4 ayat (3) huruf d UU Pajak Penghasilan yang diubah melalui Pasal 3 angka 1 UU HPP yang mengatur bahwa penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan/ atau kenikmatan. Selengkapnya pasal tersebut menyatakan, “penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;”
MK dalam pertimbangan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan permohonan Pemohon yang meminta pengecualian fasilitas kesehatan dan pengobatan tersebut telah terakomodasi dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d angka 5 UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021. Dengan adanya pengaturan pengecualian objek natura dan/atau kenikmatan yang dapat dikenakan pajak pada pokoknya memiliki tujuan agar pengenaan pajak atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lebih adil dan tepat sasaran.
Pengaturan Penarikan Pajak Natura
Dikatakan Enny, Pemohon mendalilkan penarikan pajak natura merupakan upaya Pemerintah untuk menertibkan perusahaan yang berusaha menghindari pajak dengan memberikan fasilitas kepada karyawannya. Artinya, pemberian fasilitas kepada karyawan berupa kenikmatan (natura) bisa menambah nilai ekonomi perusahaan. Menurut Pemohon, Pemerintah tidak semestinya berpandangan bahwa fasilitas kesehatan sebagai natura dan/atau kenikmatan menambah nilai ekonomi perusahaan atau alasan lainnya, oleh karena dasar apapun pengelompokan fasilitas kesehatan sebagai natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak tidak dapat dibenarkan dan tidak beralasan.
“Berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, pembentukan UU 7/2021 merupakan usaha Pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan percepatan pemulihan perekonomian dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum. Perubahan ini juga dilakukan sebagai bentuk optimalisasi pendapatan negara yang berdampak pada perekonomian, kesejahteraan, dan keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia,” ujar Enny.
Enny menerangkan, hal utama yang menjadi perhatian Mahkamah terkait isu konstitusionalitas norma Pasal a quo adalah terkait ada tidaknya ketidakadilan atau ketidaksetaraan yang timbul sebagai akibat dari pengaturan natura dan/atau kenikmatan tersebut. Dengan melihat adanya fakta bahwa natura dan/atau kenikmatan yang tidak dikecualikan yang justru diberikan kepada pegawai pada level manajemen tinggi namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap sebagai objek pajak sehingga tidak dapat dipungut pajak penghasilan, sedangkan pada kenyataannya justru natura dan/atau kenikmatan tersebut dapat menambah kesejahteraan bagi penerimanya, in casu para pegawai pada level manajemen tinggi. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pekerja biasa yang bukan termasuk level manajemen tinggi yang pada akhirnya justru akan menyebabkan terlanggarnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, sambungnya, keadilan bukanlah selalu berarti memperlakukan sama terhadap setiap orang, keadilan juga dapat berarti memperlakukan sama terhadap hal yang memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda. Sehingga, justru menjadi tidak adil apabila terhadap hal-hal yang berbeda diperlakukan sama, in casu antara para pegawai level manajemen tinggi dan para pegawai biasa.
Lebih lanjut Enny menuturkan, terkait dengan pertimbangan hukum di atas dan tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Permenkeu 66/2023 yang mengatur lebih lanjut UU 7/2021 telah ditentukan bahwa atas natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan diperinci jenis dan batasannya, antara lain kenikmatan berupa fasilitas kesehatan dan pengobatan dari pemberi kerja sepanjang diterima atau diperoleh pegawai dan dalam rangka penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kedaruratan penyelamatan jiwa, atau perawatan dan pengobatan lanjutan sebagai akibat dari kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja, dikecualikan dari objek PPh (non-taxable).
“Hal ini sekaligus untuk menjawab perihal adanya kekhawatiran Pemohon, bahwa fasilitas pelayanan kesehatan dan biaya berobat yang diberikan oleh pemberi kerja sebagai objek pajak penghasilan adalah tidak tepat dikarenakan fasilitas pelayanan kesehatan tidaklah menambah nilai ekonomi wajib pajak. Artinya, kekhawatiran Pemohon mengenai tidak adanya pengecualian pengaturan objek PPh telah terjawab. Termasuk dalam hal ini adalah adanya kekhawatiran Pemohon yang berkaitan dengan keinginan agar pegawai atau karyawan tidak dibebankan PPh terhadap fasilitas kesehatan dan biaya berobat yang seharusnya hal tersebut dibebankan kepada pemberi kerja atau pengusaha. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” ungkap Enny.
Baca juga:
Karyawan Swasta Pertanyakan Fasilitas Kesehatan Terkena Pajak
Karyawan Swasta Perbaiki Uji Aturan Fasilitas Kesehatan Terkena Pajak
MK Tunda Sidang Uji Aturan Pajak Fasilitas Kesehatan
Pemerintah: Fasilitas Kesehatan dan Pengobatan Bukan Objek Pajak
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Y.