JAKARTA, HUMAS MKRI – Seorang advokat bernama Gugum Ridho Putra mengujikan aturan kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut Gugum Ridho Putra (Pemohon), terdapat kekosongan hukum dalam aturan kampanye pada penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang di tengah potensi adanya konflik kepentingan, pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM), serta tidak adanya pembatasan penampilan citra diri.
“Undang-Undang Pemilu belum mengantisipasi potensi intervensi atau penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh jabatan yang disebabkan keterikatan hubungan keluarga sedarah ataupun semenda antara presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota dengan peserta pemilunya, baik itu pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota,” ujar kuasa hukum Pemohon, M. Iqbal Sumarlan Putra dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (21/12/2023).
Pejabat Negara Kampanye
Pemohon Perkara Nomor 166/PUU-XXI/2023 itu menjelaskan, presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota sepatutnya dilarang mengikuti kampanye keluarganya yang menjadi peserta pemilu. Sebab, hal ini sebetulnya telah diatur Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menginginkan pemilu dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil.
Asas pemilu jujur diwujudkan dengan pembebanan kewajiban kepada semua pihak yang terlibat dalam pemilu, baik itu penyelenggara, pemerintah, partai, peserta, pengawas, dan pemantau pemilu termasuk pemilih untuk tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara, asas pemilu yang adil mengharuskan semua pihak yang terlibat dalam pemilu mendapatkan perlakuan yang sama (equal treatment) serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Pemohon mengatakan, pembiaran bagi presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota untuk dapat mengikuti kampanye anggota keluarganya yang ikut kontestasi pemilu secara langsung bertentangan dengan prinsip pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Kehadiran secara fisik para pejabat itu akan menjadi perintah non-verbal yang sangat kuat kepada khalayak luas bahwa sang pejabat secara tidak langsung meminta seluruh masyarakat mengikuti pemilihannya untuk turut mendukung keluarganya yang ikut dalam kontestasi pemilu.
“Untuk alasan itu, ketiadaan larangan ini jelas melanggar asas pemilu bebas,” kata Iqbal.
Pelanggaran TSM
Pemohon juga mempersoalkan ketiadaan larangan bagi “pihak lain” di luar peserta pemilu, pelaksana kampanye dan tim kampanye untuk memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Ketiadaan larangan tersebut berakibat setiap pelanggaran TSM yang dilakukan oleh pihak lain selain peserta pemilu, pelaksana kampanye dan tim kampanye tadi tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran TSM.
Begitu pula bagi pasangan calon yang menerima manfaat atau diuntungkan oleh pelanggaran TSM yang dilakukan pihak lain tersebut juga tidak dapat dikenakan sanksi pembatalan sebagai pasangan calon (diskualifikasi).
Citra Diri
Berikutnya, Pemohon mempersoalkan ketiadaan larangan bagi Peserta Pemilu untuk menggunakan citra diri berupa foto/gambar, suara, gabungan foto/gambar dan suara dengan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan secara digital ataupun teknologi artificial intelligence (AI) yang dianggap seolah-olah sebagai citra diri yang otentik. Melalui kecanggihan teknologi, Peserta Pemilu dapat melebih-lebihkan citra dirinya melebihi keadaan yang sebenarnya. Ketiadaan larangan ini dapat menyebabkan misinformasi bagi Pemilih sehingga berpotensi memanipulasi persepsi Pemilih terhadap kandidat. Menggiring Pemilih menggunakan hak pilihnya secara keliru (misguided voting).
Pemohon menjelaskan, UU Pemilu belum mengatur seluk-beluk citra diri peserta pemilu yang akan dipergunakan dalam materi kampanye. Pembatasan penggunaan teknologi digital termasuk bantuan AI juga belum diatur. Akibatnya, peserta pemilu dapat dengan leluasa melakukan pemolesan tanpa batasan.
“Kesan yang ditampilkan dalam citra diri yang dipoles teknologi itu tidaklah sama dengan keadaan yang sebenarnya sehingga apabila pemilih tergerak menggunakan pilihannya karena pengaruh dari citra diri yang berlebihan tersebut, maka pada saat itu sesungguhnya telah terjadi manipulasi penggunaan hak pilih,” tutur dia.
Petitum
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 3, Pasal 274 ayat (1), Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), Pasal 286 ayat (1), Pasal 286 ayat (2), Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon meminta MK memaknai kembali masing-masing norma tersebut sebagai berikut:
Pasal 1 angka 35 menjadi berbunyi: “Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu berupa nomor urut dan foto/gambar terbaru Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tanpa manipulasi digital ataupun teknologi artificial intelligence (AI).”
Pasal 274 ayat (1) menjadi berbunyi: “Materi kampanye meliputi: a.visi, misi, dan program Pasangan Calon untuk Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; b. visi, misi, dan program partai politik untuk Partai Politik Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota; c. visi, misi, dan program yang bersangkutan untuk kampanye Perseorangan yang dilaksanakan oleh calon anggota DPD; d. citra diri nomor urut dan foto/gambar terbaru Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tanpa manipulasi digital ataupun teknologi artificial intelligence (AI).”
Pasal 280 ayat (2) menjadi berbunyi: “Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan: a. Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi; b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; c. gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia; d. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah; e. Pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di Lembaga nonstruktural; f. Aparatur sipil negara; g. Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; h. Kepala desa; i. Perangkat desa; j. Anggota badan permusyawaratan desa, k. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih; dan l. Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta memiliki konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak jabatan masing-masing.”
Pasal 281 ayat (1) menjadi berbunyi: “Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubenur, wakil gubenur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan: a. tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menjalani cuti di luar tanggungan negara; c. tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak jabatan masing-masing.”
Pasal 286 ayat (1) menjadi berbunyi: “Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye, termasuk pula pihak lain dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih.”
Pasal 286 ayat (2) menjadi berbunyi: “Pasangan Calon serta calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang terbukti melakukan pelanggaran dan/atau memperoleh manfaat atau diuntungkan oleh pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan rekomendasi Bawaslu dapat dikenai sanksi administratif pembatalan sebagai Pasangan Calon serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota oleh KPU.”
Pasal 299 ayat (1) menjadi berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye sepanjang tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak jabatan masing-masing.
Nasihat Hakim
Sidang panel ini dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Saldi dalam nasihatnya mengatakan, Pemohon harus dapat mengelaborasi kerugian hak konstitusional pada pasal yang diuji dengan batu uji yang diajukan.
Senada dengan itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mendorong Pemohon untuk menguraikan argumentasi pertentangan norma UU Pemilu yang diuji terhadap pasal dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji secara jelas dan komprehensif. Arief juga mengatakan, hukum itu selalu ketinggalan dengan perkembangan masyarakatnya, termasuk perkembangan teknologi dan informasi. Oleh karena itu, dari sisi normatif, untuk menghindari kekosongan hukum, dirinya melihat Pemohon ingin menggerakkan MK untuk menjadi positive legislature atau menambahkan norma baru.
“Sehingga harus dibangunkan teori narasi yang menjelaskan bahwa hukum itu selalu tertinggal dengan masyarakat kalau itu harus dibangun oleh badan legislatif memerlukan waktu, maka Mahkamah melalui fungsi positive legislature,” ucap Arief.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.