JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana atas uji formil dan materiil terhadap Pasal 137 ayat (2) huruf c dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Sidang Perkara Nomor 164/PUU-XX/2023 tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dengan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur di Ruang Sidang Panel MK tersebut pada Rabu (20/12/2023).
Anisitus Amanat Gaham yang berprofesi sebagai notaris di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah menjadi Pemohon perkara tersebut. Ia mendalilkan pasal-pasal tersebut memuat kewajiban pihak ketiga untuk membayar Uang Wajib Tahunan (UWT) kepada pemegang Hak Pengelolaan sebagai kompensasi dari pemanfaatan bagian tanah hak pengelolaan.
Dalam kasus konkret, Pemohon atas dasar kepercayaan mengurus pembaruan dari 750 sertifikat dari Hak Guna Bangunan (HGB) yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan (HPL). Terdapat 42 sertifikat HGB hasil pembaruan berlaku hingga 2024 dan 2041, namun sisanya ditunda pengurusannya sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan oleh Kantor Pertanahan Kota Semarang.
“Singkatnya, para pemilik sertifikat harus mendapatkan surat rekomendasi atas peralihan HGB di atas HPL karena pada peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah terdapat ketentuan tarif uang wajib tahunan bagi pihak ketiga yang memperoleh bagian tanah hak pengelolaan berdasarkan perjanjian pemanfaatan tanah. Hal ini kemudian diujikan Pemohon ke MA dan dalam putusannya, Majelis Hakim MA berpendapat pengaturan mengenai rekomendasi dan tarif tersebut merupakan norma yang telah diatur dalam UU Cipta Kerja. Pemohon mempertanyakan kenapa hal ini berlaku surut,” jelas Anisitus.
Pemohon menilai ada kekosongan norma hukum terkait pengaturan tanah hak pengelolaan dalam UU Cipta Kerja. Untuk itu, ia meminta agar Mahkamah menambah rumusan norma baru dalam satu pasal tersendiri atau ayat tambahan pada pasal yang sudah ada.
“Atau dengan perkataan lain conditionally constitutional/konstitusional bersyarat sepanjang tidak mencakup pengaturan tentang penyerahan bagian tanah HPL kepada pihak ketiga berdasarkan perjanjian jual beli atau perjanjian lain yang setara dengan perjanjian jual beli tanah berakibat hapus atau terputusnya hubungan hukum antara bagian tanah HPL yang sudah diserahkan kepada pihak ketiga dengan pemegang tanah HPL, sehingga pihak ketiga memiliki hak otonom untuk secara bebas mengatur sendiri urusan administrasi tanah miliknya yang telah diperoleh berdasarkan perjanjian jual beli atau perjanjian lain yang serupa dengan perjanjian jual beli tanah tanpa perlu surat rekomendasi dari pemegang tanah HPL dan tidak ada kewajiban membayar UWT kepada pemegang tanah HPL,” tandas Anisitus.
Sistematika Permohonan
Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam nasihat Majelis Sidang Panel menyebutkan perlu bagi Pemohon untuk membaca permohonan-permohonan yang pernah diujikan ke MK, mulai dari format, kedudukan hukum, alasan permohonan, dasar pengujian, pasal yang diujikan, dan keterkaitan dengan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon berkaitan dengan kerugian hak konstitusionalnya, hingga penyusuna petitum yang sesuai dengan hukum acara MK. “Perhatikan ketentuan Pasal 10 ayat 2 PMK 2/2021 untuk menjadi landasan dalam memperbaiki permohonan ini,” saran Anwar.
Sementara Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mencermati agar Pemohon mempertegas perkara konstitusional yang dialami atas kasus konkret yang menjadi latar belakang pengujian norma a quo. Sehingga perlu bagi Pemohon memehami dan mendalami sistematika permohonan yang berbeda dengan peradilan umum.
“Dalam permohonan ini juga disebutkan ada uji formil, tetapi di dalamnya tidak dijelaskan dan tidak didalilkan sehingga menjadi bias, maka setidaknya perbaiki dengan disesuaikan dengan PMK terbaru,” jelas Ridwan.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Enny menyarankan agar Pemohon memahami perihal pengujian undang-undang ke MK, yakni uji formil dan materil. Oleh karenanya harus konsisten dalam penulisan permohonan menyoal pengujian yang dimaksudkan.
“Setelah memahami bedanya, maka ikuti PMK yang di dalamnya sistematika sederhana dari permohonan di MK, kewenangan Mahkamah hingga petitum. Di dalam permohonan ini belum terlihat sama sekali untuk dikategorikan dalam uji undang-undnag di MK,” sebut Enny.
Pada akhir persidangan Enny menyebutkan bahwa Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk memperbaiki permohonan sebagaimana nasihat hakim. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 2 Januari 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina