JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Permohonan diajukan oleh Leonardo Olefin’s Hamonangan. Sidang pengucapan Putusan Nomor 115/PUU-XXI/2023 dilaksanakan pada Rabu (29/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo.
Mengutip pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 60/PUU-XIX/2021 Paragraf [3.12] Mahkamah berpendapat bahwa tidak adanya batasan kewenangan Kepolisian yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 bukanlah menjadi penyebab oknum Kepolisian melakukan tindakan yang merendahkan martabat dan kehormatan orang lain. Persoalan yang para Pemohon dalilkan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi dari norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002. Persoalan implementasi norma terkait dengan tayangan kegiatan Kepolisian yang marak di media masa menurut Mahkamah telah memiliki batasan yang jelas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, kode etik profesi, serta peraturan pelaksana lainnya. Oleh karena itu, baik aparat Kepolisian maupun media massa diharapkan dapat selalu berhati-hati dalam menjalankan tugas dan fungsinya, agar tetap dalam koridor yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah mengingatkan supaya anggota Kepolisian dalam melaksanakan tugasnya agar selalu menjaga keseimbangan antara unsur profesionalitas dan integritas dengan tetap memerhatikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, khususnya dalam mengaktualisasikan ketentuan norma Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 KUHAP. Demikian pula halnya dengan warga masyarakat diharapkan selalu mendukung pelaksanaan tugas Kepolisian.
Mahkamah juga menegaskan bahwa tindakan petugas Kepolisian dalam melakukan pemeriksaan pada diri seseorang yang dicurigai karena ada dugaan melakukan tindak pidana adalah tindakan yang memerlukan kecepatan yang tidak memungkinkan untuk terlebih dahulu dipersiapkan surat-surat izin sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pemohon. Jika surat izin menjadi persyaratan, maka seseorang yang akan dilakukan pemeriksaan berpotensi menggunakan kesempatan untuk melarikan diri bahkan menghilangkan barang bukti. Di samping itu, pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas Kepolisian terhadap orang yang dicurigai karena diduga melakukan tindak pidana sebenarnya juga masih dalam batas pemeriksaan permulaan yang belum masuk pada tindakan atau upaya paksa (pro justitia). Oleh karena itu, belum ada relevansinya untuk mempersoalkan surat izin penggeledahan dari pengadilan atau perintah Penyidik kecuali tertangkap tangan sebagaimana yang didalilkan Pemohon.
Berikutnya, pertimbangan hukum Mahkamah berkenaan dengan dalil Pemohon yang meminta pemeriksaan handphone atau sejenisnya dikecualikan dari bagian yang tidak boleh dilakukan pemeriksaan. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, sulit untuk memisahkan apakah handphone atau sejenisnya tersebut merupakan bagian dari barang bukti yang dipergunakan ataupun hasil tindak pidana atau bukan tanpa diperiksa terlebih dahulu.
“Oleh karena itu, tanpa bermaksud menilai kekhawatiran Pemohon, jika kekhawatiran tersebut benar terjadi dan jika memang anggota Kepolisian dimaksud terbukti melakukan pelanggaran prosedur hukum maka Pemohon dapat menempuh upaya hukum yang tersedia,” kata Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams membacakan pertimbangan hukum putusan.
Mahkamah berpendapat, ketentuan norma Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 KUHAP telah ternyata memberikan kepastian hukum dan tidak melanggar hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga:
Khawatir HP Digeledah Paksa Polisi, KUHAP Diuji
Pemohon Ubah Pasal Penggeledahan dalam KUHAP yang Diuji
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 115/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Leonardo Olefin’s Hamonangan. Pemohon menguji Pasal 5 Ayat 1 huruf a Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 dan Pasal 30 (4) UUD 1945.
Pemohon merasa mengalami kerugian konstitusional potensial akibat berlakunya Pasal 5 (1) Huruf a Nomor 3 KUHAP yaitu: menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. Kemudian berlakunya Pasal 32 KUHAP, “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Pemohon khawatir penerapan Pasal 5 ayat (1) Huruf a angka 3 dan Pasal 32 KUHAP akan semakin maraknya polisi yang berlindung mempergunakan haknya dan kewenangannya memeriksa handphone (HP) pengendara atau seseorang dicurigai. Padahal dalam prosedurnya, harus mendapat surat izin perintah penggeledahah dari penyidik atau tertangkap tangan atau dari pengadilan setempat.
Pemohon mengilustrasikan aktivitasnya yang sering keluar malam dalam rangka pulang bekerja. Pemohon merupakan karyawan swasta di suatu perusahaan di wilayah Jakarta Timur. Pemohon kerap kali pulang malam karena lembur kerja. Kemudian Pemohon potensial diberhentikan aparat kepolisian yang kemudian melakukan pemeriksaan motor dan HP Pemohon dengan alasan Pemohon dicurigai oleh Polisi. Sementara tidak semua aparat kepolisian mengetahui prosedur hukum, sehingga dikhawatirkan akan ada bentuk kesewenang-wenangan kepolisian menggunakan kuasanya memeriksa HP.
Hal tersebut pernah terjadi di wilayah Jakarta Timur yang dilakukan Polisi Aipda Ambarita kepada warga. Beredar video viral di media sosial memperlihatkan aksi seorang anggota kepolisian, Aipda Ambarita, menggeledah paksa HP seorang pemuda. Aipda Ambarita mendapat banyak kritik karena menggeledah tanpa surat perintah atau tertangkap tangan.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kemudian menyatakan Pasal 5 ayat (1) Huruf a angka 3 KUHAP tidak mempunyai hukum mengikat menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, sepanjang dimaknai dalam hal pemeriksaan handphone atau sejenisnya merupakan bukan bagian dari identitas diri dan pemeriksaan handphone atau sejenisnya sah menurut hukum sepanjang ditemukannya barang bukti kejahatan.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.