JAKARTA, HUMAS MKRI – Tujuh kepala daerah memperbaiki permohonan yang mempersoalkan pemotongan masa jabatan. Hal ini disampaikan oleh tim kuasa hukum mereka dalam persidangan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan pada Rabu (29/11/2023) di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Kuasa hukum para Pemohon, Donal Fariz, dalam persidangan antara lain menambahkan data Surat Keputusan (SK) sebagai kepala daerah. Selanjutnya, pada permohonan awal, para Pemohon mengujikan beberapa ayat dalam Pasal 201 UU Pilkada. Dalam perbaikan permohonan, para Pemohon fokus pada pengujian Pasal 201 ayat (5) yang diajukan pula pada Perkara 62/PUU-XXI/2023 dan Perkara 143//PUU-XXI/2023, namun dengan batu uji dan alasan permohonan yang berbeda dengan permohonan terdahulu tersebut.
Berikutnya para Pemohon membuat ilustrasi berupa skenario atas desain jadwal Pilkada Serentak 2024 jika dilaksanakan pada September 2024. Para Pemohon, sambung Donal, menyertakan grafik yang menunjukkan konsekuensi akhir masa jabatan para Pemohon sekalipun pilkada dimajukan. Dengan kata lain, akhir masa jabatan para Pemohon tidak ada yang menyentuh akhir hingga September 2024.
Para Pemohon juga menambahkan bukti surat remi Kemendagri pada salah satu Pemohon agar usulan nama pengganti dibahas pada tingkat DPRD Kota dan dimasukkan pada 6 Desember 2023. Sehingga saat ini, statusnya Pemerintah sedang melakukan proses pengusulan nama-nama pengganti pejabat kepala daerah ini.
“Atas alasan-alasan yang ada ini, MK menurut para Pemohon perlu menggeser pertimbangannya dari Perkara 62 atau 143. Ada delapan alasan yang kami utarakan, di antaranya petitumnya berbeda dengan perkara sebelumnya; lokus dari perkara ini adalah kepala daerah yang dipilih 2018 dan dilantik pada 2019; permohonan yang diajukan ini tidak merusak rekonstruksi Pilkada Serentak 2024 karena menunjukkan data di mana terdapat tiga kepala daerah tingkat provinsi, enam kepala daerah tingkat kota atau kotamadya, dan 30 kepala daerah tingkat kabupaten yang masa jabatannya tidak ada yang melampaui masa pelaksanaan Pilkada 2024. Sebab pemotongan masa jabatan itu hanya berlaku bagi kepala daerah yang dilantik pada 2020 dengan ketentuan yang telah ditentukan. Jadi, jadwal dan masa jabatan masa akhir para Pemohon ini tidak berbenturan dengan hari pencalonan kepala daerah pada pilkada mendatang,” sampai Donal di hadapan Sidang Majelis Panel yang terdiri atas Ketua MK Suhartoyo, Wakil Ketua MK Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Baca juga:
Masa Jabatan Terpotong, Tujuh Kepala Daerah Uji UU Pilkada
Sebagai tambahan informasi, tujuh kepala daerah menguji Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Ketujuh kepala daerah dimaksud yakni Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E. Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Didie A. Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.
Dalam permohonan Nomor 143/PUU-XXI/2023, tujuh kepala daerah tersebut menguji Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang menyebutkan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.”
Sidang perdana Perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 ini digelar di MK pada Rabu (15/11/2023). Kuasa Hukum para Pemohon, Donal Fariz, dalam persidangan menyebutkan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada pernah diujikan dan diputus MK (Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021). Namun demikian, dasar konstitusionalitas pengujian permohonan kali ini berbeda dari permohonan yang diujikan sebelumnya. Para Pemohon yang merupakan pejabat kepala daerah yang merupakan produk penyelenggaraan pemilihan secara serentak di dalam masa transisi ini mempersoalkan ruang ketidakpastian hukum dari norma yang diujikan. Para Pemohon mendalilkan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada berpotensi memotong masa jabatan menjadi tidak utuh lima tahun karena diakhiri pada 2023.
Menurut para Pemohon, akhir masa jabatan mereka sama sekali tidak mengganggu jadwal pemungutan suara serentak nasional yang diselenggarakan pada November 2024 mendatang. Penunjukan pejabat kepala daerah untuk menjalankan pemerintahan sepatutnya dilakukan setelah kepala daerah definitif menyelesaikan masa jabatannya. Dengan demikian, ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada secara faktual telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon.
Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang dilantik tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati pemungutan suara serentak nasional tahun 2024.”
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.