SERANG, HUMAS MKRI - Sistem penyelenggaraan negara telah mengalami perubahan yang cukup signifikan pasca Perubahan UUD 1945, meskipun terdapat kesepakatan mendasar dalam perubahan konstitusi. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional dengan tema “Dinamika Sistem Penyelenggaraan Negara dan Pemilihan Umum Pasca Perubahan UUD 1945”, pada Jumat (3/11/2023) di Auditorium Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten.
Suhartoyo mengatakan dalam konteks Pemilihan Umum sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia, perubahan UUD 1945 berimplikasi salah satunya pada penyelenggaraan Pemilihan Umum yang sebelumnya menggunakan sistem proporsional tertutup menjadi sistem pemilihan umum langsung menggunakan sistem proporsional terbuka. Hal ini diharapkan dapat memberikan keleluasaan dan kebebasan yang lebih bagi masyarakat dalam memilih calon-calon untuk menduduki kursi penyelenggara negara baik pada cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif.
“Sesempurna apapun niat yang diwujudkan dalam amendemen UUUD 1945 demi kemaslahatan bangsa dan negara, tidak dapat dipungkiri masih terjadi constitutional abuse yang berupa pembentukan Undang-undang organik yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dan tujuan UUD 1945, bahkan potensial merugikan hak konstitusional warga negara. Perubahan UUD 1945 Khususnya Pasal 24 ayat (1) dan (2) mengatur bahwa kekuasaan kehakiman atau pemegang kekuasaan yudikatif dimiliki oleh MA dan MK,” jelas Suhartoyo.
Peran MK
Menurut Suhartoyo, MK sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang lahir atas implikasi dari perubahan UUD 1945, turut serta menjalankan peran penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. MK menjalankan fungsi diantara sebagai pengawal konstitusi (the guardian of Constitution), pengawal Pancasila sebagai ideologi negara (the guardian of state’s ideology), penafsir akhir konstitusi (the sole interpreter of Constitution), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights), dan pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).
Selain itu, sambungnya, MK sebagai penjaga konstitusi, melalui kewenangan konstitusionalnya dalam memeriksa dan memutus perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, menjalankan peran kekuasaan peradilan mengembalikan hak konstitusional warga negara yang terdampak dari constitutional abuse. Hingga saat ini, MK telah memutus sebanyak 1.763 perkara pengujian undang-undang, dimana 196 perkara yang telah diputus tersebut menguji Undang-Undang Pemilu dari berbagai aspek dan point of view.
“Peran MK institusi dalam menjaga demokrasi dan hak konstitusional warga negara juga dapat dilihat dari kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara. Meskipun sejak MK berdiri pada tahun 2003 hingga saat ini, Mahkamah baru menerima dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara sebanyak 29 perkara,”ungkap Suhartoyo.
Ia menerangkan, dalam konteks fungsi the guardian of democracy, Mahkamah melaksanakan kewenangan dalam memeriksa Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum dan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah. Secara statistik, MK telah memeriksa dan memutus Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum sebanyak 676 perkara, dan Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah sebanyak 1136 perkara.
Dalam memeriksa dan memutus seluruh perkara yang menjadi kewenangan MK, Mahkamah tentu telah menyinergikan penerapan the rule of law dengan the rule of ethics. Rule of law dalam pelaksanaan kewenangan MK telah diturunkan dari UU MK ke dalam peraturan teknis seperti Peraturan MK dan Peraturan Ketua MK, dimana ketentuan dalam aturan-aturan tersebut harus dipedomani oleh seluruh pihak yang akan berperkara di MK baik itu dalam proses pemeriksaan pengujian undang-undang, penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara, penyelesaian sengketa penyelenggaraan pemilu, maupun penyelesaian sengketa penyelenggaraan pemilukada.
Adapun rule of ethics terwujud di antaranya dalam proses pengambilan putusan oleh sembilan hakim konstitusi yang tentu saja dilaksanakan secara imparsial dan independen. Selain itu, adanya persidangan yang terbuka dan akuntabel juga merupakan salah satu wujud pelaksanaan rule of ethics. Hal ini sebagaimana pendapat Jeremy Bentham yang menyatakan “selama tidak ada keterbukaan, tidak ada keadilan. Keterbukaan merupakan roh dari keadilan. Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat ‘HAKIM’ bahkan diadili saat ia sedang mengadili.”
Di akhir sambutannya, ia menegaskan pemangku kepentingan dalam Pemilihan umum, penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, masyarakat sebagai pemilih serta aparat penegak hukum harus menjalankan betul prinsip prinsip kesetaraan, menjaga moral dan virtue, serta integritas Pemilu 2024. Hal ini bertujuan agar terpilihnya penyelenggara negara yang sesuai dengan kehendak masyarakat menjalankan amanah sesuai konstitusi. Dalam hal terjadi perselisihan hasil Pemilu yang harus bermuara ke MK maka prinsip audi et alteram partem mutlak dijalankan dalam memeriksa dan memutus perkara demi tercapainya hasil Pemilu yang sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
Sementara Plt. Kepala Biro Humas dan Protokol Budi Wijayanto dalam laporannya menyebut seminar nasional ini merupakan program jejaring yang dilaksanakan oleh Biro Humas MK. Ia berharap kegiatan ini dapat memberikan manfaat kepada para mahasiswa. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.