JAKARTA, HUMAS MKRI – Pelapor dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi menghadiri persidangan yang digelar oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Kamis (2/11/2023). Persidangan kali ini dibagi menjadi dua sesi untuk memeriksa 10 laporan. Para Pelapor menyampaikan sejumlah keterangan di hadapan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dengan didampingi oleh Sekretaris MKMK Wahiduddin Adams dan Anggota MKMK Bintan Saragih.
Pada sesi pertama, Pelapor yang diperiksa yaitu Perhimpunan Pemuda Madani dalam Laporan Nomor 7/MKMK/L/ARLTP/10/2023; Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asai Manusia Indoensia (PBHI) dalam Laporan Nomor 8/MKMK/L/ARLTP/10/2023; Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (TAPHI) dalam Laporan Nomor 9/MKMK/L/ARLTP/10/2023; Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (BEM Unusia) dalam Laporan Nomor 19/MKMK/L/ARLTP/10/2023; dan Kantor Advokat Alamsyah Hanafiah dalam Laporan Nomor 20/MKMK/L/ARLTP/10/2023.
Ketentuan Administrasi
PBHI melaporkan Ketua MK Anwar Usman, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah (para Terlapor). Kuasa hukum PBHI, Julius Ibrani menjelaskan tujuan pelaporan yaitu karena ingin menjaga MK, termasuk menjaga para hakim konstitusi yang ada di dalamnya. Julius menjelaskan, Terlapor I (Anwar Usman) membahas perkara sebelum diputus dan diungkapkan ke publik sehingga melahirkan sikap publik yang negatif terhadap perkara dan putusan MK. Selain itu, Terlapor I juga dinilai memiliki dugaan konflik kepentingan yang memberikan dampak terhadap pemeriksaan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara terhadap seluruh Terlapor, pihaknya melihat ada persoalan perkara yang sempat dicabut dan menyatakan pembatalan (penarikan kembali) yang dilakukan pada waktu yang tidak lazim.
“Sepengetahuan kami, surat menyurat tidak dilakukan saat MK libur atau hari libur nasional. Dalam pembahasannya juga tidak dibuat suatu penetapan apakah sungguh dilakukan dikabulkan pembatalannya. Ini menjadi sebuah pelanggaran terhadap ketentuan administrasi yang berdampak pada pemeriksaan. Dan kami berpedoman pada PMK 2/2021, ini menimbulkan persepsi yang cukup kisruh,” urai Julius yang menghadiri persidangan secara daring dari Malaysia.
Ketiadaan Kesetaraan
Sementara itu, Perhimpunan Pemuda Madani melalui Furqan Jurdi dalam laporannya menyatakan Ketua MK Anwar Usman, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul sebagai para Terlapor. Adapun kepentingan hukum pada Pelapor yaitu merasa hak-hak konstitusional yang dilindungi UUD NRI 1945 dalam hal jaminan hukum yang adil dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan telah terciderai. Atas perilaku hakim yang merupakan pejabat negara ini, ketiga Terlapor menurut Pelapor diduga membelokkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2003 dengan mengabulkan permohonan Pemohon sebagian dengan penambahan frasa “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
“Selain bukan kewenangan MK, penambahan ini tidak disepakati oleh mayoritas hakim. Padahal sebelumnya pada Perkara Nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023 disepakati perkara pada pasal adalah open legal policy. Namun pada Perkara Nomor 90, 91/PUU-XXI/2023 dikabulkan hanya oleh tiga hakim, yakni Terlapor I, II, dan III. Sementara hakim lainnya memberikan alasan berbeda, dan empat hakim yang lainnya memberikan dissenting opinion. Fakta ini menunjukkan tidak mencerminkan prinsip ketiadaan kesetaraan, dan prinsip ini pulalah yang menghasilkan keputusan yang sangat ganjil,” sampai Furqan.
Pada kesempatan ini, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (TAPHI) melalui Johan Imanuel; BEM Unusia melalui Tegar Afriansyah dan Isfazia Ulhaq; dan Alamsyah Hanafiah melaporkan adanya dugaan pelanggaran etik oleh Ketua MK Anwar Usman. Salah satunya dalam persidangan ini, perwakilan TAPHI menyebutkan bahwa Terlapor diduga telah melakukan pelanggaran kode etik melalui pelaksanaan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dugaan ini terlihat dari adanya penambahan kata pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Hal ini, menurut Pelapor seharusnya dilakukan oleh DPR dan Pemerintah.
Komentar Terbuka
Selanjutnya pada sesi kedua, MKMK memanggil para Pelapor yakni Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN) dalam Laporan Nomor 4/MKMK/L/ARLTP/10/2023 dan Ahmad Fatoni dalam Laporan Nomor 5/MKMK/L/ARLTP/10/2023 melaporkan Wakil Ketua MK Saldi Isra; LBH Cipta Karya Keadilan dalam Laporan Nomor 6/MKMK/L/ARLTP/10/2023 melaporkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Wakil Ketua MK Saldi Isra; Advokat Pengawal Konstitusi dalam Laporan Nomor 6/MKMK/L/ARLTP/10/2023, Advokat Pengawal Konstitusi dalam Laporan Nomor 15/MKMK/L/ARLTP/10/2023 dan Advokat LISAN dalam Laporan Nomor 17/MKMK/L/ARLTP/10/2023 melaporkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Advokat Pengawal Konstitusi melalui R. Elang Maulana menyebutkan Terlapor dinilai memberikan komentar di luar peradilan terhadap dissenting opinion yang telah diucapkan saat pembacaan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. “Pelanggaran dilakukan Terlapor atas keterangan rahasia, yang seharusnya dilarang untuk diungkapkan. Sehingga dugaan pelanggaran adalah memberikan komentar terbuka atas perkara yang telah diputus,” jelas Elang di hadapan Sidang MKMK Sesi Kedua.
Batasan Keterbukaan Informasi
Ahmad Fatoni dalam laporannya menyebutkan dinamika dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) oleh Terlapor sejatinya termasuk privasi lembaga MK. Sebab berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) hal demikian termasuk yang dikecualikan, sehingga tidak boleh keluar dari MK.
“Ini kesalahan Terlapor yang telah keliru dalam mencurahkan kegelisahannya dalam dissenting opinion yang juga dibacakan dalam sidang pembacaan putusan yang terbuka untuk umum. Seharusnya Terlapor wajib merahasiakan informasi dan dinamika dalam RPH tersebut dan tidak boleh diungkapkan,” sampai Fatoni.
Senada dengan batasan keterbukaan publik ini, ARUN yang diwakili oleh Bob Hasan juga menyatakan ungkapan yang terdapat pada dissenting opinion Terlapor dalam Perkara 90/PUU-XXI/2023 termasuk membocorkan rahasia yang seharusnya tidak dituangkan dalam pendapat yang dibacakan pada sidang terbuka tersebut. “Ini bagian dari membongkar rahasia. Sebab dissenting opinion merupakan legal reasoning, tetapi di sini kecenderungannya lebih kepada curhat. Oleh karena itu, kami menyerahkan kepada MKMK sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Kami tidak ingin MK menjadi luluh lantak atas peristiwa ini,” tegas Bob dalam sidang Sesi Kedua yang dilaksanakan MKMK pada pukul 13.30 WIB di Ruang Sidang MKMK, Lantai 4, Gedung 2 MK.
Baca juga:
Anggota Majelis Kehormatan MK Resmi Dilantik
MKMK Gelar Rapat Klarifikasi Pelapor Dugaan Pelanggaran Etik Hakim Konstitusi
MKMK Gelar Sidang Dugaan Pelanggaran Etik Hakim Konstitusi
Para Pelapor Sampaikan Alasan dan Bukti Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.