JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 89 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 kembali digelar Mahkamah Konstitusi pada Selasa (31/10/2023). Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Teguh Satya Bhakti selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Krisna Dwipayana.
Semula Pemohon menguji Pasal Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 89 ayat (1) huruf b UU Dikti. Namun, dalam sidang perbaikan ini, Pemohon mengeluarkan Pasal 89 ayat (1) huruf b UU Dikti dari permohonan. Selain itu, dalam sidang mendengarkan perbaikan permohonan tersebut, Viktor Santoso Tandiasa menyebutkan beberapa hal yang telah diperbaiki pihaknya, di antaranya dengan menambahkan pihak Pemohon II, yakni atas nama Fachri Bachmid. Kedudukan hukum Pemohon II, yakni Pemohon merupakan dosen Universitas Muslim Indonesia Makassar. Pemohon juga memperjelas alasan permohonan bagian Badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Swasta (PTS) berhak mendapatkan dana bersumber APBN atau APBD.
Dalam sidang perbaikan permohonan tersebut, Pemohon menyebutkan pada dasarnya kewajiban negara (pemerintah) terhadap PTS dan PTN seharusnya dipenuhi dan/atau diperlakukan secara sama dan setara. Adapun pembeda antara PTN dan PTS hanya pada konteks pendirian dan penyelenggaranya saja, yakni bahwa PTN didirikan dan/atau diselenggarakan langsung oleh Pemerintah, sedangkan PTS didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.
“Bahwa dengan tidak mendapatkannya sumber dana dari APBN dan APBD menyebabkan PTS menjadi tidak dapat memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada Dosen dan tenaga kependidikan secara sama dan merata. Akhirnya ukurannya adalah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan mengikuti rezim UU 13/2003. Berbeda dengan PTN yang mendapatkan gaji yang merata sebagaimana diatur dalam PP 15/2019,” ucap Viktor di hadapan Panel Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Viktor juga menyampaikan dalam Dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari APBN dan/atau APBD tidak dialokasikan untuk gaji pokok dosen, maka kewajiban atas gaji dosen sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU 12/2012 ditetapkan berdasarkan kemampuan tiap-tiap PT. Sehingga untuk mengukur kemampuan PTS tersebut menggunakan standar Upah Minimum (UMK). “Mengingat Pasal 70 ayat (2) UU 12/2012 terhadap pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja yang mengacu pada UU 13/2003,” imbuh Viktor.
Selain itu, Viktor juga menyebut pembebanan kewajiban pemberian gaji pokok dosen PTS hanya kepada badan penyelenggara jelas berdampak pada timbulnya ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan gaji pokok dosen PTS. Ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan tidak hanya terjadi antara gaji pokok dosen PTS dengan dosen PTN. Akan tetapi, lanjutnya, juga terjadi antara sesama dosen PTS. PTS yang berada di bawah naungan badan penyelenggara dengan kemampuan sumber daya keuangan yang tinggi dan berkedudukan di daerah dengan ketentuan Upah Minimum yang tinggi, tentu akan memberikan gaji pokok yang tinggi pula kepada para dosennya.
“Sedangkan sebaliknya, PTS yang berada di bawah naungan badan penyelenggara yang kemampuan sumber daya keuangannya rendah apalagi berkedudukan di daerah dengan ketentuan Upah Minimum yang rendah, tentu akan memberikan gaji pokok yang rendah pula kepada dosennya. Timbulnya ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan inilah yang kemudian menjadi salah satu diantara alasan diajukannya permohonan a quo,” papar Viktor.
Baca juga: Mempertanyakan Peran Negara dalam Kesejahteraan Dosen Perguruan Tinggi Swasta
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memeriksa dan mengadili permohonan yang menyatakan Pasal 70 ayat (3) UU Dikti sepanjang frasa “Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikut sepanjang tidak dimaknai “Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan.atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan adanya pembebanan kewajiban yang sama dan setara ini, negara seharusnya memenuhi hak bagi dosen maupun tenaga kependidikan pada PTN ataupun PTS sebagaimana mestinya. Namun pada praktiknya, pemberian gaji pokok dan tunjangan kepada dosen serta tenaga kependidikan pada PTS diliberalisasikan dan mutlak hanya menjadi otoritas badan penyelenggara tanpa diatur negara dan bahkan memberikan intervensi berupa dana pendidikan tinggi yang disubsidi oleh pemerintah kepada PTS. Pemohon menilai pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (4) UUD 1945 karena adanya ketidakkonsistenan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi yang telah menentkan kewajiban negara dalam bidang pendidikan melalui pengusahaan dan penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional.(*)
Penulis: Fauzan F./L.A.P
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.