JAKARTA, HUMAS MKRI – Upaya pelindungan karya cipta—khususnya di era digitalisasi—telah dilakukan oleh Indonesia dengan meratifikasi perjanjian internasional terkait dengan hak cipta di era digital seperti WIPO Copyrights Treaty (WCT) melalui Keppres No. 19 Tahun 1997, WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) melalui Keppres No. 24 tahun 2004, dan Beijing Treaty on Audio-Visual Performance melalui Perpres No. 2 Tahun 2020. Ketiga perjanjian ini mengatur hak ekonomi dan hak moral untuk pencipta dan pelaku pertunjukan termasuk terkait musik dan lagu di era digital (internet).
Demikian keterangan Pemerintah yang dibacakan oleh Staf Ahli Bidang Penguatan Reformasi Birokrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Asep Kurnia dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) pada Kamis (18/10/2023). Sidang keempat Perkara Nomor 84/PUU-XXI/2023 ini digelar dengan agenda mendengarkan keterangan dari Presiden dan DPR.
Asep menyampaikan Pemerintah memiliki peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh UUD Tahun 1945. Maka, lanjutnya, sudah sewajarnya apabila negara terlibat dalam memberikan pengaturan yang tegas dengan prinsip keseimbangan dan keadilan serta menjamin sepenuhnya perlindungan segala macam ciptaan yang merupakan karya intelektual manusia sebagai produk olah pikirnya baik di bidang ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra.
“Negara memandang perlu untuk mengatur adanya pelarangan bagi pengelola pusat perdagangan untuk membiarkan penjualan produk-produk yang terindikasi masuk kedalam kategori pelanggaran kekayaan intelektual, khususnya Hak Cipta sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta,” ujar Asep di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Lebih lanjut, Asep menyampaikan Pasal 10 UU Hak Cipta merupakan ketentuan yang mengatur larangan bagi pengelola tempat perdagangan membiarkan penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak yang terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Norma ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan nilai keadilan terutama bagi pencipta sebagai upaya menjamin diperolehnya hak ekonomi si Pencipta dan secara spesifik memberikan tanggung jawab kepada pengelola pasar sebagai pengelola tempat perdagangan untuk mengawasi tindakan penjualan, penggandaan, maupun transaksi produk yang dihasilkan dari pelanggaran hak cipta. Secara konstitusional, pengaturan tersebut juga dilandaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yaitu “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
“Dimana di hadapan hukum mendapatkan perlakukan yang sama—dalam hal ini ketentuan pada Pasal 10 UU Hak Cipta telah lebih memberikan perlindungan terhadap pencipta atau pemegang hak cipta dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya karena dapat dikatakan lebih memberikan rasa keadilan bagi si pencipta atas berbagi tindakan pelanggaran hak ekonomi suatu ciptaan serta dimaksudkan agar pengelola pasar lebih menghargai hasil karya pencipta. Dengan demikian pertanggungjawaban atas peredaran karya cipta illegal tidak hanya bertumpu pada pihak pengganda maupun penjual saja. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945,” terang Asep.
Asep juga menegaskan, UU Hak Cipta berupaya untuk menjamin perlindungan hak-hak pencipta sehingga dengan kondisi perkembangan teknologi informasi saat ini perlu untuk meningkatkan perlindungan yang lebih efektif dan efisien. Sebagai wujud dari hal tersebut Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengeluarkan Peraturan Bersama Menkum HAM dan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2015 dan Nomor 26 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik yang didasarkan pada kententuan Pasal 54 dan Pasal 55 UU Hak Cipta. Peraturan ini memberikan dasar hukum bagi pemegang hak cipta untuk mengajukan permohonan kepada Kementerian atau lembaga terkait untuk menutup akses atau menghapus konten yang melanggar hak cipta atau hak terkait di platform digital atau situs web tertentu. Proses ini dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan dan keseimbangan hak serta hak pemakai informasi dan teknologi.
“Peraturan ini juga mencakup tata cara pelaporan, penanganan pengaduan, dan proses peninjauan bagi pihak yang terdampak penutupan konten atau hak aksesnya. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk melindungi hak cipta dan hak terkait secara efektif dalam lingkungan digital, meminimalkan pelanggaran hak cipta, dan menciptakan lingkungan hukum yang menghormati hak-hak kreatif dalam era teknologi informasi dan komunikasi,” terang Asep.
Sementara, DPR yang diwakili oleh Anggota Komisi XI Wihadi Wiyanto menyampaikan digital platform sebagai salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi saat ini adalah infrastuktur daring yang berbasis perangkat lunak atau perangkat yang memfasilitasi interaksi dan transaksi pengguna. Kehadiran digital platform membuat seluruh kegiatan diatas bisa dilakukan dalam satu tempat yang mempertemukan langsung pemberi dan penerima informasi, penyedia, dan pemakai jasa atau layanan serta pihak penjual dan pembeli.
Karena sifatnya luas, sambung Wihadi, digital platform memiliki jenis-jenis yang berbeda dan perbedaan ini muncul mengikuti keragaman fungsi dan tujuan dari dibentuknya suatu digital platform. Sampai dengan saat ini digital platform terus berkembang yang semula bersifat statis menjadi interaktif. Penggunaan digital platform dengan bentuk UGC merupakan salah satu contoh perkembangan yang semula bersifat statis menjadi interaktif. Digital platform UGC saat ini diminati sebagai wadah publikasi dan sekaligus pengembangan hak cipta sebagian besar UGC mempunyai akses untuk pengguna membuka lagu atau video yang bertujuan menarik banyak penonton sehingga ini mendorong kreativitas penggunanya dalam menggunakan karya cipta asli menjadi konten yang lebih unik dan menarik untuk ditonton.
“Dalam tataran hukum positif Indonesia platform digital berbasis UGC telah diatur penyelenggara sistem elektronik atau PSE lingkup private UGC dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 juncto UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik atau UU ITE dan peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 tahun 2020 tentang penyelenggara sistem elektronik,” imbuh Wihadi.
Baca juga:
Aquarius Musikindo Perbaiki Kedudukan Hukum
Tak Dapat Tuntut Penyedia Platform yang Langgar Hak Cipta, Aquarius Musikindo Mengadu ke MK
Pemerintah Minta Sidang Uji UU Hak Cipta Ditunda
Sebagai Informasi, PT Aquarius Pustaka Musik, PT Aquarius Musikindo, serta Melly Goeslaw menguji aturan mengenai larangan pengelola tempat perdagangan membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Aturan tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Ketiganya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 84/PUU-XXI/2023.
Pemohon mendalilkan berdasarkan dari kasus konkret yang dialami yakni ketika media sosial banyak memuat atau menayangkan atau mengumumkan lagu-lagu atau master yang dimiliki pemohon tanpa izin dari pemohon. Namun dilihat dari UU Hak Cipta belum mengatur khususnya mengenai pertanggungjawaban dari penyedia layanan digital yang khususnya berbasis User Generate Content (UGC).
Para pemohon mengajukan somasi terhadap salah satu penyedia platform terkait dengan banyaknya materi muatan yang melanggar hak cipta atas lagu-lagu atau master dari para pemohon. Akan tetapi, penyedia platform berasumsi atau berdalih adanya ketentuan yang mengatur penyedia platform tidak bertanggung jawab atas konten yang diunggah oleh UGC dan menurunkan apabila ada keberatan dari pemegang Hak Cipta atau pencipta atau pemegang hak terkait.
Pemohon menilai UU Hak Cipta belum sepenuhnya mengatur tentang hal tersebut. Sehingga Pemohon melihat ada ketentuan Pasal 10 dan 114 UU Hak Cipta sebagai suatu perwujudan dari chief harbour yang memberikan larangan bagi tempat perdagangan untuk membiarkan layanan atau penggandaan pelanggaran Hak Cipta. Namun di dalam Pasal 10 dan Pasal 114 ini memang terkesan masih sempit dan belum mengakomodir fakta atau fenoma yang terjadi saat ini khususnya media sosial yang berbasis UGC.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan materi muatan Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina