JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) untuk perolehan kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Selasa (3/10/2023). Sidang perkara Nomor 116/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Perludem (Pemohon) mempersoalkan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional”. Selengkapnya Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”.
Fadli Ramadanil selaku kuasa Pemohon, dalam persidangan menjelaskan hubungan ambang batas parlemen dengan sistem pemilu proporsional. Pemohon berargumen, ambang batas parlemen ini adalah salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi. Menurut Pemohon, ketentuan ambang batas parlemen ini tidak boleh tidak dikaitkan dengan ketentuan di dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR baik provinsi maupun kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
“Artinya pemilu kita khususnya legislatif adalah pemilu yang dilaksanakan dengan sistem proporsional yang dalam beberapa studi yang kami rujuk dalam penelitian, pada intinya pemilu proporsional itu adalah bagaimana perolehan suara dari partai politik itu harus sejalan atau selaras dengan jumlah perolehan kursi di lembaga legislatif dan itu yang tidak terjadi dengan adanya ketentuan ambang batas parlemen ini,” terangnya di hadapan Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Sehingga, sambungnya, pihaknya mengaitkan ketentuan ambang batas parlemen ini dengan tidak konsistennya atau menimbulkan ketidakpastian antara ketentuan ambang batas parlemen yang 4% dan berakibat tidak terwujudnya sistem pemilu yang proporsional karena hasil pemilunya tidak proporsional.
Dalam permohonannya, Pemohon menyebutkan ketika pemilu di Indonesia menegaskan bahwa sistem pemilu legislatifnya menggunakan sistem proporsional, tetapi hasil pemilunya menunjukkan hasil yang tidak proporsional, karena persentase suara yang diperoleh partai politik tidak selaras dengan persentase perolehan kursi di parlemen, artinya ada persoalan mendasar yang mesti dituntaskan di dalam sistem pemilu proporsional di Indonesia. Persoalan tersebut tentu saja berkaitan langsung dengan daulat rakyat sebagai fondasi utama dari penyelenggaraan pemilu, serta pemenuhan asas pemilu yang jujur dan adil di dalam Pasal 22E ayat (1), dan tentang adanya kepastian hukum di dalam sebuah regulasi penyelenggaraan pemilu sebagaimana diatur di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan tentu saja berkaitan pula dengan prinsip negara hukum di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Menurut Pemohon, salah satu yang menentukan hasil pemilu menjadi proporsional atau tidak adalah ketentuan ambang batas parlemen yang notabene adalah salah satu variabel dari sistem pemilu.
Oleh karena itu, Pemohon dalam provisinya meminta MK menjadikan Perkara Pengujian Pasal 411 ayat (1) UU yang diajukan oleh Pemohon sebagai perkara yang diprioritaskan untuk diperiksa di Mahkamah Konstitusi, agar pemberlakuan ambang batas parlemen yang sudah menggunakan penghitungan matematis yang rasional, dapat diberlakukan untuk hasil Pemilu 2024, dengan tetap memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk melakukan pembuktian secara maksimal.
Sedangkan dalam pokok perkara, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional” bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara yang ditetapkan berdasarkan perhitungan rasional matematis dan dilakukan secara terbuka, jujur, dan adil sesuai dengan prinsip sistem pemilu proporsional”.
Selain itu, meminta MK agar memerintahkan kepada Presiden dan DPR sebagai Pembentuk Undang-Undang untuk segera melakukan perbaikan terhadap ketentuan ambang batas parlemen (Parliamentary Treshold) di dalam UU Pemilu, dengan merumuskan besaran angka ambang batas parlemen berdasarkan perhitungan rasional matematis dan dilakukan secara terbuka, jujur, dan adil sesuai dengan prinsip sistem pemilu proporsional.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.