JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 1 angka 18 dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada Selasa (3/10/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan yang perkara Nomor 115/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Leonardo Siahaan. Persidangan digelar secara luring dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Leonardo Siahaan (Pemohon) yang diwakili oleh kuasanya, Hosnika Purba, menyampaikan Pemohon memiliki kekuatiran dari penerapan Pasal 1 angka 18 dan Pasal 32 KUHAP, akan memicu maraknya polisi yang menggunakan haknya dan kewenangannya untuk memeriksa Handphone (HP) pengendara atau seseorang yang dicurigai atau dengan alasan ditemukan bukti permulaan tindak pidana padahal dalam prosedurnya harus mendapat surat izin dari Pengadilan setempat.
Pasal 1 angka 18 KUHAP menyatakan, “Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang didup keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita”.
Pasal 32 KUHAP menyatakan, “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Pemohon menyebut, polisi tidak serta merta melakukan pemeriksaan HP dengan alasan mencurigai seseorang. Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar mengatakan bahwa aparat harus terlebih dulu mengantongi surat izin dari ketua pengadilan di tempat dia melaksanakan penggeledahan.
“Atas dasar berlindung untuk kepentingan penyidik menjadi landasan yang kuat polisi secara bebas melakukan pemeriksaan HP warga, padahal bila melihat Pasal 37 KUHAP, polisi sendiri dibatasi oleh hukum dalam melakukan penggeledahan. Dalam hal polisi menggeledah secara paksa, tanpa surat izin pengadilan atau tanpa ada yang tertangkap tangan, maka polisi bisa dituntut telah melakukan penggeledahan yang tidak sah, karena itu tidak bisa polisi seenaknya melakukan penggeledahan paksa tanpa didasari surat perintah pengadilan,” ujarnya.
Untuk itu pemohon dalam petitumnya meminta MK untuk menyatakan Pasal 1 angka 18 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan menyatakan frasa Pasal 32 KUHAP tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini, dalam hal pemeriksaan Handphone atau sejenisnya merupakan bukan bagian dari identitas diri dan pemeriksaan handphone atau sejenisnya sah menurut hukum sepanjang ditemukannya barang bukti kejahatan atau barang bukti sifatnya melawan hukum.
Saran Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan pemohon untuk menjabarkan kerugian konstitusional yang dialami. “Pemohon tidak menjabarkan kerugian konstitusional, persoalan yang dialami tidak dijabarkan yang memenuhi kriteria-kriteria. Sehingga nanti kesimpulannya saudara mempunyai legal standing. Kemudian ada ilustrasi perlu dipertajam sehingga Majelis nanti yakin bentuk kerugian yang terjadi itu akibat dari norma yang diajukan pengujian,” terangnya saat memberikan nasihat kepada kuasa pemohon.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan perlu adanya elaborasi dalam menguraikan kerugian konstitusional jika dikaitkan dengan berlakunya norma undang-undang yang diuji.
Sebelum persidangan ditutup, Majelis Panel Hakim Konstitusi menyampaikan pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas maksimal perbaikan permohonan diserahkan ke Kepaniteraan MK yakni pada Senin 16 Oktober 2023.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.