JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 terhadap Undang-Undang Dasar 1945, pada Rabu (27/9/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan yang tergistrasi dengan Nomor 111/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Meidiantoni yang merupakan ASN Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sebagai Penyuluh Pajak Ahli Madya.
Meidiantoni yang hadir secara daring menyampaikan bahwa ia mengalami kerugian karena adanya hambatan untuk memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik atas urusan penggunaan anggaran. Selain itu, mengalami kerugian karena penggunaan nilai persentase mengunci jumlah belanja pendidikan dalam jumlah yang besar setiap tahunnya.
Kemudian, Meidiantoni menjabarkan bahwa terdapat kerugian yang diakibatkan adanya pola belanja negara yang tidak seimbang antara kemampuan keuangan dan penggunaan berdasarkan skala kepentingan yang lebih mendesak.
“Tidak adanya pemborosan anggaran pada sektor penddikan. Sebagai contoh adalah setiap pemohon melihat sekolah negeri, baik SD, SMP, SMA/SMK, pastilah seluruh ruang kelas murid telah dilengkapi dengan pendingin udara (AC). Dimana dirumah para murid di sekolah negeri tersebut belum tentu memiliki pendingin udara (AC). Rumah tempat tinggal yang memiliki pendingin udara (AC) akan membayar biaya listrik yang jauh lebih mahal. Dan hal ini salah satu alasan mengapa banyak rumah tangga memutuskan tidak membeli pendingin udara (AC). Sehingga selain barang berupa pendingin udara (AC), maka biaya yang dibebankan pada belanja negara dari keberadaan pendingin udara (AC) tersebut adalah biaya listrik dari seluruh sekolah-sekolah dan universitas negeri yang ada di Indonesia,” jelas Meidiantoni dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Tidak hanya itu, Meidiantoni menyebut belanja negara tersebut tidak dapat dilakukan karena UUD 1945 telah mengunci belanja pendidikan dengan hitungan berbentuk persentase. Sehingga dalam petitumnya, ia meminta Putusan Sela untuk uji materiil Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 terhadap pasal-pasal UUD 1945 terkait dengan hak-hak warga negara Indonesia.
PMK 2/2021
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemohon untuk membaca Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2/2021. Ia meminta Pemohon mengikuti sistematika permohonan sebagaimana termuat dalam PMK tersebut. “Ikuti PMK Nomor 2/2021 khususnya di Pasal 10. Nanti dibaca bagaimana syarat-syarat mengajukan permohonan itu, permohonan itu memuat apa saja disana diuraikan dalam PMK itu,” ujar Suhartoyo.
Kemudian Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan permohonan Pemohon dapat dianggap kabur. Hal tersebut karena Pemohon menguji UUD 1945 terhadap UUD 1945 yang seharusnya uji materiil sebuah undang-undang terhadap UUD 1945.
“Oleh karena itu daripada berjauh-jauh Bapak cari kalau mau mengajukan juga, mempersoalkan itu misalnya bapak mau mempersoalkan UU APBN nah dari situ Bapak persoalkan. Nanti Bapak uji ke Pasal 31 UUD 1945. Ini Bapak minta kami ada petitum perumpamaan menjatuhkan sanksi administratif kepada Ketua MPR adalah seperti bertemu dengan seorang wanita bersuami yang akan bercerai dengan suaminya dan berparas cantik. Seperti baca novel saya ini, Pak. Jadi, Pak, kalau petitum clear saja apa yang diminta, misalnya bBapak minta pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Nah itu bapak cari diundang-undang sehingga clear,” terang Saldi.
Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengapresiasi Pemohon karena mempunyai niat dan upaya untuk mempelajari Konstitusi. Akan tetapi, ia juga meminta agar Pemohon mempelajari UU MK agar mengerti mengenai kewenangan MK.
“Jadi, Pemohon pelajari dulu undang-undang apa yang bermasalah, dipelajari dan dipahami dulu undang-undangnya. Tolong pelajari betul ya pak UUD 1945 dan UU MK. Kalau perlu bapak berdiskusi dengan teman-teman yang mengerti hukum,” pinta Enny.
Sebelum menutup persidangan, Enny mengatakan kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari kerja. Perbaikan permohonan selambatnya diterima pada Selasa, 10 Oktober 2023. Dan jika Pemohon ingin mencabut permohonannya, maka Panel Hakim meminta Pemohon membuat surat pencabutan permohonan. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana