JAKARTA, HUMAS MKRI - I Gde Widhiana Suarda, Agus Riwanto, Wahyu Aji Wibowo, dan Jimmy Z. Usfunan dihadirkan sebagai ahli oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi, dkk (para Pemohon) untuk memberikan keterangan dalam sidang uji materiil Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) pada Senin (25/9/2023). Sidang Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 dengan agenda mendengarkan keterangan para ahli dari para Pemohon ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta tujuh hakim konstitusi lainnya.
I Gde Widhiana Suarda selaku Ahli Hukum dari Universitas Negeri Jember dalam keterangannya mengungkapkan pengaturan mengenai hukum acara yang menyimpang dari ketentuan KUHAP pada dasarnya berkaitan erat dengan sifat dan karakteristik dari kejahatan tertentu, termasuk tentang keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diperlukan sebagai penyidik selain penyidik Polri untuk melakukan penyidikan. Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada PPNS atau penyidik dari suatu lembaga selain penyidik Polri merupakan bagian dari upaya penegakan hukum pidana khusus atau penegakan hukum pidana di luar kodifikasi. Akan tetapi tidak semua undang-undang pidana khusus di luar kodifikasi mengatur adanya ketentuan tentang keberadaan penyidik yang sifatnya khusus.
”Maka penyebutan unsur ‘pegawai tertentu’ sebagai penyidik sebenarnya tidak dikenal dalam hukum acara pidana di Indonesia. Bahkan dalam undang-undang pidana khusus juga tidak dikenal adanya unsur ‘pegawai tertentu’ sebagai penyidik,” sebut Widhiana.
Penyidik Penunjang
Sementara Agus Riwanto selaku Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret Surakarta berpendapat bahwa OJK merupakan lembaga negara penunjang terhadap alat kelengkapan negara. Sebab, OJK dibentuk berdasarkan undang-undang yang kewenangannya tidak secara langsung dinyatakan dalam UUD 1945. Sehingga, kewenangan OJK dalam penyidikan tindak pidana pada sektor jasa keuangan bukan merupakan penyidik utama tetapi hanya sebagai penyidik penunjang.
Sementara penyidik utama tindak pidana kejahatan adalah Polri karena menjadi bagian dari lembaga negara yang dikategorikan sebagai alat kelengkapan negara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD. Dengan demikian, Polri merupakan alat utama negara dalam mewujudkan perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum.
“Maka keberadaan OJK yang berada di luar struktur kekuasaan Eksekutif tersebut menjadi tidak tepat diberikan kewenangan utama dalam melakukan penyidikan suatu tindak pidana di sektor jasa keuangan,” tegas Agus.
Masyarakat Sulit Dapatkan Keadilan
Selain itu, Agus juga mengaitkan ketentuan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) UU P2SK dengan kesulitan akses keadilan bagi masyarakat atas penempatan OJK sebagai penyidik tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan. Menurutnya OJK bukan organ utama negara dalam penegakan hukum, sehingga dikhawatirkan tak memiliki sumber daya penyidik yang memadai dan keberadaan kantor lembaga OJK pun tidak menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Berbeda yang memiliki jumlah penyidik dan infrastruktur yang memadai dan mampu menjangkau seluruh Indonesia.
“Dengan kualifikasi jumlah penyidik yang terbatas dan hanya di kantor pusat, ini menunjukkan keberadaan penyidik OJK tak mampu menjangkau pelayanan penyidikan tindak pidana sektor jasa keuangan di seluruh wilayah Indonesia. Ini akan berpotensi tak terlayani secara memadai laporan masyarakat terkait kejahatan sektor jasa keuangan jika kewenangan penyidikan hanya oleh OJK,” jelas Agus.
Terbatas Hanya Penyidik OJK
Wahyu Aji Wibowo selaku Ahli Bahasa dari Balai Bahasa Provinsi Bali memberikan penjelasan mengenai Frasa “hanya dapat” pada pasal yang diujikan pada perkara ini. Menurutnya berdasarkan pemaknaan leksikal. Kata ‘hanya’ merupakan kata keterangan yang berfungsi sebagai pembatas/membatasi pada hal yang disebutkan atau tidak ada hal lain selain hal yang disebutkan itu. Kata ‘dapat’ bermakna mampu atau kuasa melakukan sesuatu.
Sesuai konteks perkara ini, sambung Wahyu, Frasa ‘hanya dapat’ selain Penyidik OJK tidak ada pihak lain yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. Dengan kata lain, satu-satunya pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor keuangan adalah penyidik OJK dan bukan yang lainya. Pemaknaan frasa ‘hanya dapat’ jika dihubungkan dengan pemberian kewenangan pada OJK, maka satu-satunya pihak yang diberikan kewenangan melakukan penyidikan di sektor keuangan, terbatas pada penyidik OJK.
“Frasa ‘hanya dapat’ memberikan makna batasan kelembagaan, yang berhak melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan yakni Penyidik OJK, larangan bagi Polri untuk melakukan penyidikan, dan penyidik OJK satu-satunya pihak yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. Dengan demikian implikasi pemberlakuan pasal a quo ini terhadap penanganan penyidikan di sektor jasa keuangan adalah hanya Penyidik OJK satu-satunya pihak yang diberikan kewenangan untuk melakukannya,” jelas Wahyu.
Mereduksi Kewenangan Polri
Jimmy Z. Usfunan selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana menyatakan ketentuan pasal yang diujikan berdampak pada kewenangan Polri. Sebab apabila dibaca dengan menggabungkan pemaknaannya, sambung Jimmy, maka penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan, perbankan, pasar modal, dan perasuransian hanya dapat dilakukan oleh Penyidik OJK. Beberapa ketentuan tersebut, menurut Jimmy, berdampak pada Polri yang tidak lagi berwenang melakukan penyidikan pada tindak pidana sektor jasa keuangan.
“Dengan mereduksi tugas Polri, menempatkan Polri sebagai lembaga negara utama dalam penegakan hukum yang dijamin UUD 1945, maka dengan adanya pasal tentang penyidikan sektor jasa keuangan ini Polri tidak memiliki kewenangan dalam penyidikan dalam sektor jasa keuangan,” sampai Jimmy.
Baca juga:
Kewenangan Penyidikan Tunggal kepada OJK Dipertanyakan
Pemohon Uji UU P2SK Perkuat Argumentasi Permohonan
DPR dan Pemerintah Minta Penundaan Sidang Soal Penyidik Tunggal OJK
Urgensi Penyidik OJK Dalam Pandangan DPR dan Presiden
Polri dan OJK Jelaskan Ranah Penyidikan Sektor Jasa Keuangan
Kisah SP NIBA AJB Bumiputera 1912 dan Aliansi Korban PT WAL Mencari Keadilan
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera 1912 (Pemohon I), I Made Widia (Pemohon II), Ida Bagus Made Sedana (Pemohon III), Endang Sri Siti Kusuma Hendariwati (Pemohon IV), Bakhtaruddin (Pemohon V), dan Muhammad Fachrorozi (Pemohon VI). Para Pemohon mengujikan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK.
Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK menyatakan, “Penyidik Otoritas Jasa Keuangan terdiri atas: … c. pegawai tertentu, yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.”
Pasal 49 ayat (5) UU P2SK menyatakan, “Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.”
Dalam sidang Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (19/6/2023), Pemohon I sebagai badan hukum privat, telah dirugikan hak konstitusionalnya dalam rangka membela kepentingan hukum anggotanya selaku pekerja dan warga negara, karena keberadaan ketentuan UU P2SK. Kerugian yang dialami karena tidak dapat menempuh upaya hukum melalui sarana penegakan hukum di Kepolisian RI atas terjadinya tindak pidana di sektor jasa keuangan—seperti permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Kecuali hanya melalui proses penegakan hukum saat penanganan penyidikan tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam pandangan Pemohon I konsekuensi keberadaan ketentuan UU P2SK tersebut, dinilai menimbulkan persoalan konstitusional dalam hal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu OJK. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU P2SK yang sangat potensial dengan penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi melakukan penanganan penyidikan tunggal tindak pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Tertentu OJK, apabila dimaknai hanya satu-satunya sarana penanganan penyidikan tunggal tindak pidana oleh OJK. Ketentuan norma ini berdampak langsung terhadap kepentingan hukum anggota Pemohon I yang sedang dalam pengawasan dan penanganan administratif oleh OJK.
Lebih terperinci dalam permohonan dinyatakan ketidakpastian hukum dalam proses penegakan hukum apabila Pemohon II hanya dapat menempuh upaya hukum sebagaimana ketentuan pasal-pasal a quo yang menyatakan fungsi penyidikan tunggal yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK. Dalam pandangan Pemohon sebagai bagian dari masyarakat, kemudian tidak terlayani dengan baik dalam penegakan hukum atas penolakan laporan pidananya. Sehingga fungsi OJK sebagai pihak yang melakukan penyidikan ini dinilai telah memonopoli penyidikan di sektor jasa keuangan. Akibatnya hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip due proces of law berdasarkan asas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta mereduksi kewenangan Kepolisian RI sebagai organ utama alat negara yang bertugas menegakkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Untuk itu, dalam petitum provisinya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan provisi para Pemohon. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan menunda keberlakuan UU P2SK sampai ada putusan Mahkamah dalam perkara a quo. Selama penundaan tersebut, undang-undang yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Baca juga:
MK: Kewenangan Penyidikan OJK Perlu Koordinasi dengan Kepolisian
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.