JAKARTA, HUMAS MKRI – Panitia Khusus (Pansus) pembahasan rancangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sempat menggagas untuk memasukkan Ketetapan MPR (TAP MPR) ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan setelah UUD 1945. Hal ini disampaikan oleh Ahmad Yani yang pernah tergabung dalam Pansus RUU P3 dalam sidang lanjutan uji materiil UU P3 pada Rabu (13/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“UU Nomor 12 Tahun 2011 atau yang disebut UU P3 itu memasukkan hal baru yang belum ada dalam UU 10/2004 belum ada, yaitu memasukkan hierarki setelah UUD 1945 itu adalah Ketetapan MPR, itu ada di Pasal 7 ayat (1). Ketetapan MPR dan merinci Peraturan Daerah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kota/Kabupaten,” ujar Ahmad Yani yang dihadirkan oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Pemohon Perkara Nomor 66/PUU-XXI/2023 tersebut.
Ahmad Yani mengungkapkan sejak RUU P3 disusun, gagasan mengenai memasukkan Ketetapan MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan telah muncul dan menjadi isu dan perdebatan. Akan tetapi, lanjutnya, akhirnya Ketetapan MPR batal dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan karena berbagai macam pertimbangan.
“Di dalam draf usulan awal TAP MPR belum masuk, jadi gagasan memasukkan walaupun sudah menjadi pertimbangan dan diskusi yang begitu panjang bahkan menimbulkan perdebatan. Ide ini dimasukkan kembali pada waktu sudah ada pembahasan di pansus. Tentunya karena sudah ada pembahasan di pansus keterlibatan pemerintah juga ikut di dalam TAP MPR ini,” terang Ahmad Yani.
Ahmad Yani melanjutkan Baleg DPR kala itu berkeyakinan bahwa MPR masih berwenang membentuk Ketetapan MPR. Hal itu disebabkan karena MPR merupakan satu-satunya lembaga negara pembentuk UUD 1945 serta tidak ada lembaga negara lain yang mempunyai otoritas dan kewenangan serupa.
“Kalau dia punya kewenangan tetapi ketetapannya dianggap tidak berlaku hanya dibatasi, diminimalisasi atau dilokalisir dengan yang sudah ada sebagaimana di Ketetapan MPR Nomor 3 Tahun 2003 yang dibatasi. Sebenarnya permasalahannya lebih banyak soal psikologis karena sudah sosialisasi kemana-mana kok sekonyong-konyong ada undang-undang yang meletakkan MPR (sebagai) sumber hukum kedua setelah UUD. Jadi, tidak murni pendekatan norma yang diatur UUD maupun UU,” tegas Anggota Komisi III DPR periode 2009 – 2014 tersebut.
Tak Lagi Berwenang
Sementara itu, Martin Hamonangan Hutabarat yang hadir menjadi Saksi Pemohon lainnya mengungkapkan MPR menggagas adanya Empat Pilar Kebangsaan pada 2009 dan diikuti dengan mempersiapkan buku-buku sebagai pedoman sosialisasi. Dalam buku pedoman tersebut tercantum bahwa MPR tidak lagi berwenang membuat ketetapan MPR sejak amendemen UUD 1945.
“Itu menjadi pegangan seolah-olah menjadi doktrin dan itulah bahan yang kita sosialisasikan di perguruan tinggi dan sebagainya. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Mengapa itu dilakukan? Karena isi UUD 1945 tidak ada yang mengatakan wewenang MPR untuk membuat ketetapan MPR. Sebelumnya, MPR berhak untuk membuat GBHN, menetapkan GBHN. Atas dasar itulah ada ketetapan-ketetapan lainnya,” ujar Martin yang juga Anggota Komisi III DPR periode 2009 – 2014 tersebut.
Martin mengatakan UU 10/2004 mengenai susunan perundang-undangan menghilangkan posisi TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan. Tetapi setahun kemudian DPR ada usul insiatif membuat revisi terhadap perubahan UU 10/2004 dengan adanya UU 12/2011. “Disitu dimasukkan lagi ketetapan MPR itu sebagai salah satu sumber hukum hierarki sesudah UUD di atas UU,” tegas Martin.
Dalam keterangannya, Martin mengakui adanya perdebatan Baleg DPR RI yang timbul apakah dengan menjadikan TAP MPR sebagai sumber hukum akan menjadi peluang munculnya ketetapan-ketetapan MPR baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. “Akhirnya munculnya UU 12/2011 yang dimaksud dalam TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan hanyalah TAP MPR yang masih berlaku. Maka, pengunciannya di situ,” tandasnya.
Baca juga:
Yusril Ihza Mahendra Perbaiki Permohonan Uji Aturan Pembatasan Kewenangan MPR
Menguji Konstitusionalitas Kewenangan MPR
MPR Sebut Ada Kewenangan yang Belum Diatur dalam Bentuk Produk Hukum
Sejumlah Ahli dan Saksi Sejarah Hadir Terkait Uji Aturan Kewenangan MPR
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan dengan dilakukannya amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR di dalam UUD 1945 serta dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan undang-undang dasar tersebut, maka telah terjadi perubahan yang fundamental dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan “lembaga tertinggi negara” dan sekaligus sebagai penjelmaan “seluruh rakyat Indonesia”.
Pemohon mendalilkan keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia setidaknya telah 3 (tiga) kali menjadi penyelamat Negara Republik Indonesia ketika negara ini mengalami krisis konstitusional. Pertama, MPRS telah membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya faham Marxisme dan Leninisme setelah terjadinya pemberontakan G 30 S PKI pada tahun 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 3 Maret 1966. Kedua, MPRS menerbitkan Penetapan yang bersifat beshickking untuk menetapkan Pengembang Supersemar sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1967. Ketiga, MPR telah membuat Ketetapan tentang pertanggungjawaban Presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan Presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional. Keempat, MPR telah membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan. Ketetapan ini dijadikan dasar untuk berhentinya Presiden Soeharto dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan Presiden BJ Habibie di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung, ketika MPR dalam keadaan tidak dapat bersidang akibat krisis moneter tahun 1998. Ketetapan ini membuat berhentinya Presiden Suharto dan pengambilan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya menjadi sah dan konstitutional. Untuk itu, Sehingga dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.