PALU, HUMAS MKRI - Terhitung 20 tahun sejak perubahan UUD 1945 dilakukan pada 1999 lalu, mengisyaratkan pada seluruh komponen bangsa Indonesia bahwa pekerjaan untuk membuat ukuran kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia belum juga usai. Pergantian rezim pemerintahan melalui proses demokratis, yakni Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, 2019, hingga beberapa waktu yang tak lama Pemilu 2024, masih didapati kegamangan dalam upaya mewujudkan dan menerjemahkan tujuan bernegara untuk memajukan kesejahteraan umum. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Tadulako (FH Untad), Palu, Sulawesi Tengah pada Jumat (8/9/2023). Dalam kegiatan yang mengangkat tema “Dinamika Sistem Penyelenggaraan Negara dan Pemilihan Umum Pasca-Perubahan UUD 1945” ini, Wahiduddin mengajak para peserta seminar yang terdiri atas lintas generasi ini, untuk kembali memahami hakikat dari tujuan bernegara yang sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945.
Wahiduddin melanjutkan ceramah dengan mengutip kalimat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, “… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Pada frasa ini, sambung Wahiduddin, secara nyata terpatri cita-cita atau tujuan bernegara. Sebagai negara merdeka, Indonesia harus membentuk dan menyusun sistem pemerintahan. Terdapat tujuan dari sebuah pemerintahan yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
“Singkatnya, siapapun yang akan memegang pemerintahan dan program apa yang menjadi agenda pemerintahannya, yang harus menjadi pedoman dalam penyusunan program tersebut adalah cita-cita konstitusional. Maka dari itu, tujuan bernegara atau cita-cita konstitusional inilah yang menjadi elemen ‘kesinambungan’. Jika kita elaborasi keempat tujuan bernegara itu, akan menemukan titik temu pada pernyataan tentang perlindungan yang diberikan negara kepada warga negara yang meliputi perlindungan atas hak-hak konstitusional. Dengan kata lain, hak-hak konstitusional tersebut diberi jaminannya oleh negara,” jelas Wahiduddin dalam kegiatan yang turut dihadiri oleh Kepala Biro Umum MK Elisabeth; Anggota DPR Komisi III Sarifuddin Sudding; Dekan FH Untad Sulbadana; pejabat dekanat, para guru besar ilmu hukum dan dosen pengajar di FH Untad.
Demi Kemakmuran Rakyat
Untuk memudahkan pemahaman para peserta seminar nasional ini, Wahiduddin menyajikan perbandingan makna tujuan bernegara dari beberapa negara seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan negara Skandinavia, yaitu Denmark, Swedia, Finlandia, dan Islandia. Berdasarkan negara-negara ini dapat ditelisisk dalam mewujudkan kesejahteraan umum tidak dapat diartikan hanya sebatas pada usaha untuk meningkatkan perekonomian nasional. Sehingga mencukupi standar agar disebut sebagai negara dengan ekonomi maju. Kita semua sadar, jelas Wahiduddin, perekonomian tidak dapat dinafikan dari kesejahteraan. Namun unsurnya lagi-lagi tidak hanya diukur dari sudut pandang ekonomi.
Mari lihat Tiongkok dan Amerika Serikat, Wahiduddin mencermati bahwa negara-negara ini dinilai mampu menguasai pasar global, bahkan pertumbuhan ekoniominya pun melesat dibanding 30-40 tahun lalu. Akan tetapi, apakah seluruh warganya merasa sejahtera secara merata. Kemudian, lihatlah negara-negara Skandinavia. Kendati memiliki wilayah yang kecil dan sumber daya alam terbatas, kebijakan yang diambil pemerintah di negara-negara tersebut sangat mengutamakan memberikan pelayanan kepada warganya. Pemerintahnya memanfaatkan sumber daya yang tersedia sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
“Lantas bagaimana dengan di Indonesia? Ukuran tentang apa yang disebut “kesejahteraan umum” dalam Pembukaan UUD 1945 hingga saat ini belum ada kesepahaman. Pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto, pendekatan konsep ‘pembangunan’ dijadikan dasar untuk mencapai kesejahteraan umum. Konsep ‘pembangunan’ yang diusung pun menjadikan ekonomi sebagai panglima. Pada 1980-an, Indonesia pernah digadang-gadang sebagai Macan Asia. Namun, ternyata fundamental ekonomi yang dibangun tidak dilandaskan pada fondasi yang kokoh. Sehingga ketika terjadi krisis moneter, perekonomian Indonesia juga terdampak sedemikian besar. Mau tidak mau, suka tidak suka, pasca-pemerintahan Presiden Soeharto dilakukanlah renovasi dan perombakan sistem ketatanegaraan kita melalui Perubahan UUD 1945,” terang Wahiduddin.
Usai membeikan ceramah kunci pada seminar nasional ini, kegiatan pun dilanjutkan dengan diskusi hukum yang diisi oleh pemateri di antaranya anggota DPR Komisi III Sarifuddin Sudding dan Dosen FH Untad Aminuddin Kasim. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.