JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketentuan batas usia paling rendah 40 tahun sebagai syarat menjadi capres dan cawapres kembali diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, Mahasiswa FH Universitas Negeri Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Melisa Mylitiachristi Tarandung (calon advokat) dalam Perkara Nomor 92/PUU-XXI/2023. Para Pemohon dalam dua perkara ini mendalilkan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan UUD 1945. Sidang perdana atas dua perkara ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (5/9/2023) dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Dwi Nurdiansyah Santoso selaku kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengatakan pihaknya mengagumi pejabat pemerintahan berusia muda yang dinilainya berhasil dalam membangun ekonomi daerah. Salah satunya adalah Gibran Rakabuming yang merupakan Wali Kota Surakarta yang berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah Surakarta hingga 6,25% dari sebelumnya hanya -1,74%. Diakui Pemohon ada banyak data yang menunjukkan sejumlah kepala daerah terpilih yang berusia di bawah 40 tahun pada Pemilu 2019 disertai dengan kinerja yang baik.
“Oleh karenanya, sudah seharusnya konstitusi tidak membatasi hak konstitusional para pemuda untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden dengan mensyaratkan batas usia,” sebut Nurdiansyah secara daring.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah."
25 Tahun
Sementara Melisa Mylitiachristi Tarandung (calon advokat) dalam Perkara Nomor 92/PUU-XXI/2023 melalui Irwan Gustaf Lalegit mengatakan berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Nomor 18 Tahun 2013 pada intinya calon advokat dapat diangkat sebagai advokat berusia sekurang-kurangnya 25 tahun. Sementara pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu, syarat batas usia capres dan cawapres sekurang-kurangnya 40 tahun. Pemohon membandingkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang syarat batas usia untuk menempati beberapa jabatan, di antaranya syarat usia anggota DPR dan DPD adalah sekurang-kurangnya 21 tahun; calon hakim pengadilan berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun; syarat batas usia calon walikota/wakil walikota/bupati/wakil bupati serta kepala desa adalah 25 tahun; dan calon jaksa paling rendah berusia 23 tahun. Dengan berlakunya Norma-norma tersebut, maka ketentuan batas usia capres dan cawapres setidaknya 40 tahun mengakibatkan kerugian konstitusional terhadap Pemohon karena tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 169 UU Pemilu sepanjang frasa ”berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ”berusia paling rendah 25 (Dua Puluh Lima) tahun.”
Alasan Permohonan
Dalam nasihat Panel Hakim, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan nasihat terhadap kedua permohonan yang diajukan, di antaranya terhadap Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-XXI/2023. Menyoal syarat umur, menurut Daniel merupakan persyaratan kumulatif, sehingga perlu dipertegas kembali apakah Pemohon memenuhi seluruh persyaratan atau hanya berfokus pada syarat yang ada pada pasal a quo.
“Syarat-syarat usia pada sejumlah undang-undang bervariasi, bahwa norma ini ada tidaknya konstitusional dikaitkan dengan batu ujinya, jika dianggap diskriminasi usia dari 40 tahun ke 25 tahun apakah ini bukan diskriminasi? Jika ia, ini juga akan jadi alasan sangat kontradiksi. Coba dibuatkan argumen yang lebih spesifik lagi,” saran Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan saran terhadap permohonan para Pemohon mengenai dalil yang disampaikan berupa kasus konkret. Untuk itu, perlu dikaji kembali kerugian konstitusional yang benar-benar potensial atau faktal terjadi akan keberlakuan norma yang diujikan.
“MK tidak mengadili perkara konkret, karena para Pemohon mengangkat tentang hal-hal perseorangan yang diajukan sebagai penyelenggara daerah. Pada permohonan hanya disebutkan lalu apakah Pemohon mengalami juga pernah mengajukan diri sebagai kepala daerah, jadi pertajam lagi kerugian konstitusionalnya dan uraian berupa elaborasinya jangan perkara konkret. Di sini pengujiannya adalah norma yang abstrak sifatnya, jadi dasar pengujiannya tidak ada selain pernyataan diskriminatif,” sebut Wahiduddin.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Suhartoyo menambahkan nasihat kepada Pemohon Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mencantumkan kewenangan kekuasaan kehakiman yang dinilai salah alamat. Untuk itu dapat diperbaiki dan diteliti kembali perihal peradilan yang berwenang mengadili perkara yang dimohonkannya. Kemudian Suhartoyo pun menyarankan pula pada para Pemohon untuk membuat permohonan sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 ayat (2) PMK Tahun 2021.
Sebelum mengetok palu hakim menandakan akhir persidangan, Suhartoyo mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 18 September 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha