JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang uji Materiil Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Pengelolaan Wilayah Pesisir), kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (31/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 35/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh PT. Gema Kreasi Perdana yang diwakili oleh Rasnius Pasaribu (Direktur Utama). Adapun agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR. Akan tetapi, terdapat surat permohonan untuk menunda sidang mendengarkan keterangan. Sedangkan DPR belum ada pemberitahuan perihal kesiapannya.
“Dari kuasa presiden sudah ada surat permohonan meminta untuk mendengarkan keterangannya ditunda pada sidang yang akan datang. Kemudian dari DPR sampai hari ini atau saat ini belum ada pemberitahuan kesiapannya. Oleh karena itu, sidang pada siang hari ini tidak bisa dilanjutkan dan sesuai surat dari Kementerian Kelautan dan Perikanan selaku kuasa presiden meminta penundaan. Untuk itu, sidang ini ditunda hari Selasa, 12 September 2023 pukul 11.00 WIB dengan agenda yang sama mendengarkan keterangan DPR dan Presiden sekaligus ada permohonan menjadi Pihak Terkait dan sudah disetujui oleh Majelis sehingga nanti mungkin persidangan yang akan datang akan dipanggil sekaligus. Nanti ada surat pemberitahuan dari Kepaniteraan MK,” ujar Anwar selaku pimpinan sidang.
Baca juga: Menguji Aturan Larangan Penambangan Mineral Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Sebelumnya, Pemohon merupakan suatu badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU 1/2014. Pasal UU a quo ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sebagai larangan tanpa syarat untuk melakukan kegiatan penambangan mineral di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, padahal Pemohon telah memiliki Ijin yang sah dan diterbitkan oleh instansi yang berwenang untuk melakukan penambangan nikel di wilayah tersebut. Bahkan Ijin Usaha Pertambangan milik Pemohon telah mengalami beberapa kali perubahan dari Ijin semula berupa Kuasa Pertambangan Nomor 26 Tahun 2007 yang terbit sebelum berlakunya UU 27/2007.
Sehingga menurut Pemohon, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) UU 1/2014 bila ditafsirkan sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat, maka seluruh tata ruang terhadap Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diatur oleh Peraturan Daerah akan bertentangan dengan Undang-Undang a quo dan harus dilakukan perubahan. Akibatnya, seluruh perusahaan yang berusaha dibidang pertambangan di wilayah-wilayah tersebut harus dihentikan pula. Tentu hal ini akan merugikan banyak perusahaan tambang, dan sama halnya dengan Pemohon, mereka telah pula melaksanakan kewajiban pembayaran kepada negara. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana