JAKARTA, HUMAS MKRI - Sefriths Eduard Dener Nau (Anggota DPRD Kabupaten Timor Tengah Selatan), Misban Ratmaji (Anggota DPRD Kota Mataram), dan Kardinal (Anggota DPRD Kabupaten Kampar) mengajukan permohonan pengujian materil Pasal 193 ayat (2) huruf i Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan atas perkara Nomor 88/PUU-XXI/2023 ini digelar pada Kamis (31/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pasal 193 ayat (2) huruf i UU Pemda yang menyatakan, “Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antar-waktu karena… i. menjadi anggota partai politik lain.” Menurut para Pemohon, Pasal 193 ayat (2) huruf i UU Pemda tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh ini, Hendriyanus Rudyanto Tonubessi selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan, para Pemohon merupakan anggota legislatif yang terpilih melalui pemilihan anggota legislatif (pileg) tahun 2019 dan menjadi anggota DPRD masa bakti 2019 hingga 2024. Pada kesempatan Pemilu 2024 mendatang, para Pemohon juga sama-sama bermaksud mencalonkan diri. Namun Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) sebagai partai politik pengusungnya dinyatakan tidak lulus verifikasi sebagai peserta Pemilu 2024 sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 173 UU Pemilu.
Hal yang dapat dilakukan hanyalah menggabungkan diri pada partai politik lain yang lulus verifikasi sebagai peserta Pemilu 2024. Berdasarkan SE Mendagri Nomor 100.2.1.4/4367/OTDA yang dibuat berdasarkan ketentuan pasal a quo, maka para Pemohon harus diberhentikan karena harus berpindah ke partai lain agar tetap bisa mencalonkan diri sebagai caleg pada masa pemilihan berikutnya.
Lebih jelasnya pada norma tersebut menyatakan, jika anggota partai politik yang diberhentikan semisal anggota lembaga perwakilan rakyat, maka pemberhentian tersebut diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat. Hal ini, dalam penalaran yang wajar berpotensi untuk menghalangi pemenuhan hak konstitusional para Pemohon khususnya hak konstitusional untuk dipilih dalam Pemilihan Umum 2024. Ditambah pula norma ini berakibat pada dilematika penyelesaian masa bakti para Pemohon sebagai anggota DPRD yang menjadi wakil rakyat. Adanya ketentuan pengunduran diri dan pemberhentian sebagai syarat pencalonan anggota legislatif yang pindah partai merupakan ketentuan yang mubazir, sejauh paksaan pengunduran diri tersebut ditujukan kepada para Pemohon sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kota yang dahulu diusung oleh partai politik yang kini bukan lagi partai politik peserta pemilu.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, Pasal 193 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” jelas Hendriyanus.
Kedudukan Hukum
Atas dalil para Pemohon ini, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyebutkan adanya ketentuan yang belum termuat pada kewenangan Mahkamah dalam menyelesaikan perkara yang dimohonkan para Pemohon. Untuk itu perlu disertakan pada permohonan mendatang. Berikutnya Manahan juga mencermati pada bagian kedudukan hukum yang menjabarkan yurisprudensi norma yang diuji dengan kerugian konstitusional para Pemohon.
“Lalu apakah partai lama membolehkan pengusungan calon yang pengganti antar-waktu, persetujuan partainya bagaimana aturannya. Jadi, ini juga bisa dikemukakan di permohonan ini,” jelas Manahan.
Berikutnya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihatnya menyoroti bagian sistematika permohonan karena pada permohonan para Pemohon masih mengikuti permohonan pada peradilan umum. Untuk itu, Daniel meminta para Pemohon mempelajari secara baik format permohonan di MK. Kemudian para Pemohon juga diharapkan dapat pula menguraikan perpindahan ke partai baru (Partai Hanura) karena berkaitan dengan kedudukan hukumnya. “Apakah PKP masih eksis? maka perlu disertakan lampiran dari SK Menteri Hukum dan HAM atas keberadaan partai ini,” sebut Daniel.
Selanjutnya Wakil Ketua MK Saldi menambahkan perlunya bagi para Pemohon untuk memperjelas kedudukan hukum dengan norma yang diuji atas hak konstitusional yang termuat pada UUD 1945. Sebab jika hal ini tidak dipertegas dan diperjelas, sehinga para hakim konstitusi tidak bisa menilai alas hukum dalam pengujian norma yang dipersoalkan.
“Pada alasan permohonan disebutkan para Pemohon menghadapkan norma dengan Putusan MK 39/PUU-XI/2013. Selah-olah norma tersebut bertentangan. Padahal para Pemohon dapat dinyatakan tidak sejalan dengan putusan MK tersebut sehingga memunculkan kerugian bagi para Pemohon. Jadi buatkan argumentasinya dengan baik,” sampai Saldi.
Setelah para hakim konstitusi memberikan nasihat, Saldi mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 13 September 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk selanjutnya akan diinformasikan pelaksanaan sidang kedua yang akan disampaikan kemudian kepada para Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.