JAKARTA, HUMAS MKRI - PT Aquarius Pustaka Musik, PT Aquarius Musikindo, serta Melly Goeslaw menguji aturan mengenai larangan pengelola tempat perdagangan membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Aturan tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Ketiganya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 84/PUU-XXI/2023.
Dalam persidangan yang digelar secara luring tersebut, Ignatius Supriyadi menyampaikan alasan permohonan yang diajukan oleh para Pemohon. “Berangkat dari kasus konkret yang dialami yakni ketika media sosial banyak memuat atau menayangkan atau mengumumkan lagu-lagu atau master yang dimiliki pemohon tanpa izin dari pemohon. Namun dilihat dari UU Hak Cipta belum mengatur khususnya mengenai pertanggungjawaban dari penyedia layanan digital yang khususnya berbasis UGC,” jelas Supriyadi dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Supriyadi menerangkan, Para pemohon mengajukan somasi terhadap salah satu penyedia platform terkait dengan banyaknya materi muatan yang melanggar hak cipta atas lagu-lagu atau master dari para pemohon. Akan tetapi, penyedia platform berasumsi atau berdalih adanya ketentuan yang mengatur penyedia platform tidak bertanggung jawab atas konten yang diunggah oleh UGC dan menurunkan apabila ada keberatan dari pemegang Hak Cipta atau pencipta atau pemegang hak terkait.
Menurut Supriyadi, UU Hak Cipta belum sepenuhnya mengatur tentang hal tersebut. Sehingga Pemohon melihat ada ketentuan Pasal 10 dan 114 UU Hak Cipta sebagai suatu perwujudan dari chief harbour yang memberikan larangan bagi tempat perdagangan untuk membiarkan layanan atau penggandaan pelanggaran Hak Cipta. Namun di dalam Pasal 10 dan Pasal 114 ini memang terkesan masih sempit dan belum mengakomodir fakta atau fenoma yang terjadi saat ini khususnya media sosial yang berbasis UGC.
“Kami melihat bahwa ada kekosongan hukum di dalam persoalan ini. Kerugian yang ditimbulkan akibat kekosongan hukum karena para pemohon tidak bisa mengajukan tuntutan terhadap penyedia platform. Karena setelah kita mengajukan gugatan ternyata hakim berpandangan bahwa itu sepenuhnya tanggung jawab dari UGC. Platform tidak bisa dipertanggungjawabkan sepanjang kita tidak bisa membuktikan bahwa ada hubungan antara pengunggah UGC terhadap videonya dengan penyedia platform. Dalam konteks demikian maka kami lihat ketentuan Pasal a quo masih terlalu sempit sehingga tidak dapat mengakomodir perkembangan yang ada saat ini,” tegasnya.
Oleh karena itu, Pemohon memandang ada kerugian konstitusionalitas khususnya Pasal 28D ayat (1) akan jaminan kepastian hukum yang adil karena pemohon melihat dengan fenomena seperti ini dan belum terakomodir. Selain itu, para pemohon merasa hak-hak konstitusionalitasnya terabaikan, sedangkan si pelaku pengabaian/pembiaran tidak dapat dimintai tanggung jawab hukum dan dibiarkan bebas. Sikap pasif Pengelola Platform Layanan Digital berbasis UGC yang hanya menunggu pemberitahuan atau permintaan penurunan konten juga tidak lagi mencerminkan keadilan.
“Oleh karena itu, modelnya haruslah diubah dengan menerapkan sikap aktif dan penuh kehati-hatian bagi pengelola untuk memastikan tidak terjadinya pembiaran pemuatan hasil pelanggaran hak cipta dalam platform yang dikelolanya,” ujar Supriyadi.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan materi muatan Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Bukan Positive Legislator
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan sejumlah saran perbaikan kepada Pemohon. Arief menegaskan kepada para Pemohon agar tidak menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator. Pemohon harus menguraikan alasan jika memang menginginkan Mahkamah dalam posisi tersebut.
“Secara politik harus mendapatkan persetujuan rakyat. Sementara secara keilmuan, ada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan hukum selalu mengalami ketertinggalan di masyarakat. Karena ada kemajuan teknologi, maka ada kekosongan hukum. Jika perubahan melalui legislasi, maka diperlukan waktu. Dalam hal ini, Mahkamah diharapkan dapat menjadi positive legislator. Ini bisa dijadikan alasan,” ujarnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan sejumlah saran perbaikan, di antaranya Pemohon dapat menghindari nebis in idem dengan menggunakan batu uji yang lain. Selain itu, untuk petitum, ia meminta agar Pemohon memperjelas ingin dimaknai seperti apa pasal-pasal yang diajukan.
Kemudian, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta para pemohon untuk mempertajam kerugian konstitusional yang dialami. “Tetapi sebelumnya dalam uraian yang cukup banyak atau tebal. Ini uraian mengenai spesifik norma yang dijadikan dasar pengujian itu meskipun Pasal 1 ayat (3), Pasal 28d ayat (1) uraiannya sangat sedikit sekali. Padahal in ikan menguji UU terhadap UUD. Harusnya diuji dengan dasar pengujiannya ini atau disebut batu uji. Sehingga perlu narasi yang sangat menarik untuk menguraikannya,” jelasnya.
Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan paling lambat diserahkan pada 11 September 2023 kepada Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina