JAKARTA, HUMAS MKRI - Pegawai tertentu selain Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ada di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat juga menjadi penyidik di sektor jasa keuangan dan menjadi satu kesatuan dengan subsistem penyidik OJK. Penyidik pegawai tertentu tersebut adalah pejabat yang bekerja di lingkungan OJK setelah mendapat izin dari Polri yang diangkat oleh Menteri sebagai penyidik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya penyidik tersebut karena tindak pidana sektor jasa keuangan semakin kompleks dan dinamis, baik dalam produk maupun kelembagaan.
Demikian keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Habiburokhman dalam sidang lanjutan pengujian materiil Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5), dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) pada Kamis (3/8/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 ini dimohonkan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera 1912 (Pemohon I), I Made Widia (Pemohon II), Ida Bagus Made Sedana (Pemohon III), Endang Sri Siti Kusuma Hendariwati (Pemohon IV). Sidang keempat dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman bersama dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra berserta hakim konstitusi lainnya.
“Adanya kekhususan ini karena permasalahan sektor keuangan perlu ditangani secara hati-hati oleh orang yang ahli di bidangnya karena melibatkan transaksi keuangan yang rumit dan terselubung, seperti tindak kejahatan keuangan yang dapat terjadi dengan tingkat kompleksitasnya yang tinggi. Untuk mengatasinya, diperlukan penyidik yang memahami mekanisme keuangan, analisa keuangan yang mendalam. Maka dengan sifat kelembagaan OJK yang independen, pihaknya dapat mengatur, melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan dalam otoritas keuangan sehingga Kepegawaian OJK dapat pula menentukan penyidik yang bersifat non-PPNS,” terang Habiburokhman.
Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Habiburokhman mengatakan sistem peradilan pidana terpadu meliputi penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan, hingga pelaksanaan putusan hakim. Konsepsi ini, diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana utamanya Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan, “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.” Sehingga keberadaan PPNS dalam melakukan penyidikan terbatas sepanjang tindak pidana yang diatur dalam undang-undang dan eksistensinya pada tataran membantu penyidik Polri, sehingga kendali tetap ada pada institusi Polri sebagai pengawas.
Lebih jelas Habiburokhman menyebutkan urgensi diangkatnya PPNS tersebut karena adanya tindak pidana khusus yang memerlukan keahlian khusus. Apabila tindak pidana khusus tersebut hanya ditangani Polri, maka akan ditemui keterbatasan dalam penyidikan. Dengan catatan, sambung Habiburrokhman, masing-masing pihak dalam pelaksanaan tugasnya tetap berada dalam pengawasan penyidik Polri.
“Sementara keberadaan pengaturan penyidik Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan bahwa Penyidik OJK adalah Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik, yang dipekerjakan di OJK untuk melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK,” terang Habiburrokhman.
Tim Penyidik OJK
Sementara kuasa Presiden/Pemerintah melalui Arief Wibisono selaku Staf Ahli Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal Kementerian Keuangan RI dalam keterangannya menyebutkan lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) belum memperhatikan masalah-masalah sektor keuangan. Misalnya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan yang semakin kompleks akibat perkembangan teknologi informasi, munculnya risiko keuangan baru yang terkait dengan perubahan iklim dan situasi geopolitik. Akibatnya, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama dalam good governance. Salah satunya dengan memberikan kewenangan penyidikan pada OJK dan termasuk menambahkan unsur penyidik OJK dari pegawai tertentu sebagaimana termuat pada Pasal 49 ayat (1) dalam Pasal 8 angka 21 UU P2SK.
Pada intinya, sambung Arief, tidak ada penyidik tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh penyidik pegawai tertentu. Sebab, proses penyidikan dilakukan oleh tim penyidik OJK yang terdiri atas unsur Polri, PPNS, dan pegawai tertentu. Sementara itu, terkait dengan persyaratan dan kualifikasi penyidik pegawai tertentu tersebut norma pelaksanaannya terdapat pada Pasal 5 ayat (2) PP Nomor 5 Tahun 2023 dan ketentuan mengenai pengangkatannya diatur pula dalam Pasal 16 PP Nomor 5 Tahun 2023.
“Dengan demikian telah ada peraturan yang jelas mengenai persyaratan, kualifikasi, dan pengangkatan pegawai tertentu sebagai Penyidik OJK. Sehingga Pasal 8 angka 21 UU P2SK jelas tidak bertentangan dengan asas ketidakpastian hukum yang termuat dalam KUHAP dan prinsip pembatasan kekuasaan,” sebut Arief.
Baca juga:
Kewenangan Penyidikan Tunggal kepada OJK Dipertanyakan
Pemohon Uji UU P2SK Perkuat Argumentasi Permohonan
DPR dan Pemerintah Minta Penundaan Sidang Soal Penyidik Tunggal OJK
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera 1912 (Pemohon I), I Made Widia (Pemohon II), Ida Bagus Made Sedana (Pemohon III), dan Endang Sri Siti Kusuma Hendariwati (Pemohon IV). Para Pemohon mengujikan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK.
Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK menyatakan, “Penyidik Otoritas Jasa Keuangan terdiri atas: … c. pegawai tertentu, yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.”
Pasal 49 ayat (5) UU P2SK menyatakan, “Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.”
Dalam sidang Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (19/6/2023), Pemohon I sebagai badan hukum privat, telah dirugikan hak konstitusionalnya dalam rangka membela kepentingan hukum anggotanya selaku pekerja dan warga negara, karena keberadaan ketentuan UU P2SK. Kerugian yang dialami karena tidak dapat menempuh upaya hukum melalui sarana penegakan hukum di Kepolisian RI atas terjadinya tindak pidana di sektor jasa keuangan—seperti permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Kecuali hanya melalui proses penegakan hukum saat penanganan penyidikan tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam pandangan Pemohon I konsekuensi keberadaan ketentuan UU P2SK tersebut, dinilai menimbulkan persoalan konstitusional dalam hal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu OJK. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU P2SK yang sangat potensial dengan penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi melakukan penanganan penyidikan tunggal tindak pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Tertentu OJK, apabila dimaknai hanya satu-satunya sarana penanganan penyidikan tunggal tindak pidana oleh OJK. Ketentuan norma ini berdampak langsung terhadap kepentingan hukum anggota Pemohon I yang sedang dalam pengawasan dan penanganan administratif oleh OJK.
Lebih terperinci dalam permohonan dinyatakan ketidakpastian hukum dalam proses penegakan hukum apabila Pemohon II hanya dapat menempuh upaya hukum sebagaimana ketentuan pasal-pasal a quo yang menyatakan fungsi penyidikan tunggal yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK. Dalam pandangan Pemohon sebagai bagian dari masyarakat, kemudian tidak terlayani dengan baik dalam penegakan hukum atas penolakan laporan pidananya. Sehingga fungsi OJK sebagai pihak yang melakukan penyidikan ini dinilai telah memonopoli penyidikan di sektor jasa keuangan. Akibatnya hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip due proces of law berdasarkan asas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta mereduksi kewenangan Kepolisian RI sebagai organ utama alat negara yang bertugas menegakkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Untuk itu, dalam petitum provisinya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan provisi para Pemohon. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan menunda keberlakuan UU P2SK sampai ada putusan Mahkamah dalam perkara a quo. Selama penundaan tersebut, undang-undang yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Baca juga:
MK: Kewenangan Penyidikan OJK Perlu Koordinasi dengan Kepolisian
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.