JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 pada Senin (31/7/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pengucapan Putusan Nomor 93/PUU-XX/2022 ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.
Selanjutnya, dalam amar putusan Mahkamah menyatakan kata “dungu, sakit otak atau mata gelap” dan kata “harus” dalam Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu, sakit otak atau mata gelap” tidak dimaknai “adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual”, dan sepanjang kata “harus” tidak dimaknai “dapat”. Dengan demikian, maka ketentuan Pasal 433 KUHPerdata selengkapnya menjadi “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dapat ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 433 KUHPerdata harus diberikan penafsiran ulang dengan menyelaraskannya dengan semangat yang terdapat dalam UU 8/2016 khususnya Pasal 32 UU 8/2016. Penafsiran ulang demikian bertujuan agar dapat dipastikan terwujudnya efek atau dampak upaya perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan tetap mempertahankan lembaga pengampuan yang ada dalam Pasal 433 KUH Perdata.
Oleh karena Mahkamah berkesimpulan Pasal 433 KUHPerdata telah ternyata terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma pada bagian-bagian tertentu, dan Mahkamah menyatakan terhadap norma Pasal 433 KUH Perdata inkonstitusional secara bersyarat dan pemaknaan demikian tidak sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya, maka Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Hati-Hati Memutus Permohonan Pengampuan
Kemudian, dalam pertimbangan lainnya, menurut Mahkamah, penghilangan atau penghapusan lembaga pengampuan dari Pasal 433 KUHPerdata justru dapat menjadi penyebab berkurangnya perlindungan hukum bagi orang atau subjek hukum yang mengalami kondisi "dungu", "sakit otak", dan "mata gelap" yang merupakan bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual.
“Meskipun KUHPerdata merupakan hukum peninggalan era kolonial, yang citranya lekat dengan penjajahan dan penindasan hak asasi manusia, Mahkamah tidak memungkiri bahwa semangat pengampuan yang diusung KUHPerdata dalam keadaan-keadaan tertentu masih relevan untuk dimplementasikan guna melindungi hak-hak keperdataan,” kata Suhartoyo.
Oleh karena itu, sambungnya, Mahkamah menegaskan terhadap penerapan lembaga pengampuan demikian, secara berkesinambungan dilakukan evaluasi, dan untuk itu Mahkamah memberikan catatan bahwa penerapan pengampuan secara longgar/mudah tanpa disertai pedoman jelas, berpotensi semakin memberatkan beban penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, terlebih jika hal tersebut dapat meringankan beban penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Berdasarkan hal demikian, pengadilan negeri sebagai lembaga yang berwenang menetapkan pengampuan harus benar-benar cermat dan hati-hati di dalam memberikan putusan/ketetapan atas permohonan pengampuan.
Penjatuhan putusan/ketetapan dimaksud harus benar-benar didasarkan pada fakta-fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan, termasuk yang paling esensial adalah memperhatikan hasil pemeriksaan ahli yang berwenang serta mempertimbangkan antara lain keterangan dan/atau bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 33 UU 8/2016 juncto Pasal 436 sampai dengan Pasal 446 KUHPerdata.
“Sebenarnya seseorang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang tidak permanen dan sedang dalam keadaan cakap, tetap mempunyai kebebasan memilih apakah akan menggunakan skema pengampuan, skema pendampingan, atau bahkan skema lain yang sudah dikenal dan dipraktikkan di luar wilayah hukum keperdataan. Sebab, keputusan atas diri atau kehendak pribadi subjek hukum dalam wilayah keperdataan tergantung dari kepentingan diri pribadi yang bersangkutan,” Lanjut Suhartoyo.
Sementara bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang permanen, setelah melalui pembuktian yang ketat, pengadilan tetap terikat untuk menetapkan bahwa yang bersangkutan ditaruh di bawah pengampuan serta, setelah melalui pembuktian yang ketat pula, menetapkan atau menunjuk pengampu (curator) yang benar-benar mampu dan dapat bertanggung jawab mengurus kebutuhan yang tidak boleh merugikan pihak terampu (curandus).
Potensi Penyalahgunaan Pengampuan
Mahkamah dalam pertimbangannya juga mengatakan, Mahkamah pada satu sisi dapat memahami adanya kekhawatiran beberapa pihak akan potensi penyalahgunaan pengampuan sehingga merugikan pihak terampu, dan di sisi lain menguntungkan pribadi pihak pengampu dan/atau pihak lainnya. Menurut Mahkamah potensi penyalahgunaan lembaga pengampuan memang ada, namun potensi demikian tidak lantas mengakibatkan lembaga pengampuan menjadi tidak diperlukan lagi. Di samping itu, untuk mengurangi bahkan menutup potensi penyalahgunaan lembaga pengampuan, Mahkamah menegaskan bahwa prosedur atau hukum acara pengampuan yang diatur di dalam KUHPerdata, UU 8/2016, harus diperiksa secara ketat oleh lembaga peradilan yang menangani permohonan pengampuan.
Dengan demikian, pelibatan ahli di bidang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual menjadi prosedur wajib dalam perkara pengampuan untuk memastikan (menegakkan diagnosis) bahwa penyandang disabilitas yang dimohonkan diampu benar-benar dalam kondisi tidak cakap untuk berpikir dan bertindak secara wajar, sehingga pengadilan mempunyai landasan yang kuat untuk menetapkan apakah penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dimaksud tidak cakap hukum.
Di samping itu, perubahan makna Pasal 433 KUHPerdata mengandung makna bahwa pengadilan negeri dalam mengadili permohonan penetapan pengampuan mempunyai pilihan yang lebih leluasa manakala berhadapan dengan fakta hukum adanya disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pada seseorang. Pengadilan negeri tidak lagi "harus menetapkan seseorang dimaksud ditaruh di bawah pengampuan, melainkan pengadilan negeri dapat memutuskan mekanisme lain untuk membantu seseorang dengan disabilitas mental dan atau disabilitas intelektual terutama yang tidak permanen, misalnya menetapkan suatu pendampingan bagi yang bersangkutan.
Baca juga:
Menghapus Stigma Penyandang Disabilitas Mental dalam KUHPerdata
Permohon Perbaiki Uji Stigmatisasi Penyandang Disabilitas Mental
DPR Bahas Definisi Pengampuan dalam KUHPerdata
Penentuan Tindakan Pengampuan Tergantung pada Hakim
Ahli: Pengampuan Bukan Lagi Perlindungan
Fenomena Kematian Perdata Penyandang Disabilitas
MK Tunda Sidang KUHPerdata Soal Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas Mental Perlu Dukungan
Penyandang Disabilitas Berhak Diakui Sebagai Pribadi di Hadapan Hukum
Stigmatisasi dan Perlakuan terhadap Penyandang Disabilitas
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 93/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi.
Pasal 433 KUHPerdata menyatakan, “Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”.
Kuasa hukum para Pemohon, Anang Zubaidy dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (26/9/2022) secara daring mengatakan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil. Pasal tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental. Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum.
Selain itu, sambung Anang, Pasal 433 KUHPerdata sesungguhnya telah mengakui bahwa gangguan kejiwaan dapat bersifat episodic yakni dengan adanya pencantuman frasa sekalipun kadang cakap mempergunakan pikirannya. Namun Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodic bukan menetap, dikarenakan sifat episodic tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional.
Para Pemohon dalam permohonan juga menyoroti pengobatan dengan menggunakan obat-obatan psikiatri yang fundamental bagi pemulihan kepada orang dengan gangguan jiwa masih belum ditemukan pada saat penyusunan KUHPerdata pada tahun 1830. Menurut Pemohon, pengampuan dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak cakap atau dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas Hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil yang disebut pengampu. Pemohon menambahkan, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad ke-21 dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-19 sudah tidak relevan.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.