JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Permohonan Pengujian Materiil Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap UUD 1945, pada Rabu (5/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan perkara Nomor 64/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Marion yang berprofesi sebagai Advokat. Agenda sidang adalah pemeriksaan pendahuluan.
Pasal 21 UU Tipikor menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Persidangan digelar secara luring dan dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Marion yang hadir di persidangan didampingi sang istri, mengatakan Pasal 21 UU Tipikor telah merugikan hak konstitusionalnya, baik sebagai warga negara Indonesia secara individual maupun sebagai advokat yang berbadan hukum, termasuk hak konstitusional Stefanus Roy Rening. Marion menjelaskan, Stefanus adalah seorang Advokat resmi yang kini ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tipikor, sehingga penerapan Pasal 21 tersebut tidak bersesuaian dengan Pasal 16 Jo Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).
Pasal 16 UU Advokat menyatakan, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara Perdata maupun Pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam Sidang Pengadilan”.
Menurut Marion, tindakan penyidik aparat penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (APH KPK) yang menetapkan advokat sebagai tersangka tersebut merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, dalam hal ini advokat. Tindakan tersebut secara jelas dan tegas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan dasar hukum bagi advokat di Indonesia.
Lebih lanjut Marion menjelaskan, penerapan Pasal 21 UU Tipikor oleh Penyidik APH KPK kepada Stefanus Roy Rening merupakan tindakan penyidik APH KPK yang tidak tepat dan tidak Profesional, mengingat Stefanus Roy Rening tersebut adalah advokat atau penasihat hukum resmi atau memiliki legal standing yang telah memenuhi persyaratan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Menurutnya, advokat juga mempunyai posisi atau kedudukan legal sebagai aparat penegak hukum yang setara dengan posisi atau kedudukan legal penyidik APH KPK serta APH lainnya seperti, Penyidik Polri, Jaksa, Hakim/Pengadilan dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.
“Pemohon berkesimpulan bahwa Materi Pasal 21 UU 31/1999 ini secara pasti (stricta) dan jelas (certa) merupakan materi pasal yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan asasi manusia advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan, dan keterbukaan, serta dalam sistem peradilan pidana Indonesia negara hukum tegas menyatakan bahwa profesi advokat adalah selaku penegak hukum/aparat penegak hukum (APH) yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya,” ujar Marion.
Oleh karena itu, Marion dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 21 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Marion, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan pemohon untuk memastikan apakah norma yang diuji Pasal 21 UU Tipikor atau Pasal 6 jo Pasal 31 UU Advokat. “Ini nanti dipastikan dulu dalam perihal karena nanti ini akan terkait dengan pasal-pasal yang akan diuji dengan batu uji yang ada di dalam UUD. Jadi harus ada persoalan konstitusionalitas norma. Nah ini Bapak lebih banyak dalam alasan permohonan ini mengangkat kasus konkret. Nanti dipastikan dulu, yang mana yang mau dipakai untuk pengujian materiil dalam permohonan saat ini,” terang Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan pemohon untuk memperbaiki kewenangan dan kedudukan hukum Pemohon. “Dalam kewenangan itu belum ada Pasal 29 UU Kekuasaan Kehakiman,” kata Arief.
Kemudian Arief juga menyoroti legal standing sebaiknya diperbaiki. “Karena dengan menguraikan legal standing seperti itu maka legal standing saudara kabur atau tidak jelas. Padahal pintu masuk untuk diperiksa pokok perkaranya (pokok permohonannya) harus lolos legal standingnya dulu. Kalau tidak, berarti di NO karena tidak punya legal standing,” terang Arief.
Sebelum menutup persidangan, Arief Hidayat mengatakan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Kemudian, permohonan Pemohon paling lambat diterima oleh Kepaniteraan MK pada Selasa 18 Juli 2023 pukul 10.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.