JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang permohonan pengujian Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) pada Senin (3/7/2023). Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 ini dimohonkan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera 1912 (Pemohon I), I Made Widia (Pemohon II), Ida Bagus Made Sedana (Pemohon III), Endang Sri Siti Kusuma Hendariwati (Pemohon IV).
Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK menyatakan, “Penyidik Otoritas Jasa Keuangan terdiri atas: … c. pegawai tertentu, yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.” Pasal 49 ayat (5) UU P2SK menyatakan, “Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.”
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, M. Rullyandi selaku kuasa pemohon menyampaikan perbaikan permohonan. “Ada 24 saran dan masukan dari Majelis Hakim yang sudah kami cermati dan kemudian sudah diperbaiki sesuai arahan Majelis Hakim,” jelasnya. Ia menyebut, sistematika permohonan telah dilakukan perbaikan dengan format Peraturan Mahkamah konstitusi (PMK).
Kemudian, sambung Rullyandi, repetisi pengulangan dan permohonan telah diupayakan untuk dipersingkat. Namun terdapat elaborasi untuk memperkuat argumen sesuai masukan dari Majelis Hakim.
“Untuk petitum provisi sudah kami sesuaikan dengan formatnya sesuai saran Majelis. Untuk metode penulisan sudah kami upayakan meninjau pada putusan omnibus law dan putusan MK. Namun kami belum menemukan cara penyebutan pasalnya sehingga yang menjadi rujukan kami, Yang Mulia adalah cara membaca dari bagian penjelasan UU P2SK ini, Yang Mulia yang itu lazim untuk dijadikan cantolan dalam cara penyebutan di dalam peraturan pelaksanaannya yakni PP menginduk Omnibus Law,” terangnya.
Baca juga: Kewenangan Penyidikan Tunggal kepada OJK Dipertanyakan
Sebelumnya, dalam sidang Pendahuluan (19/6), Pemohon I sebagai badan hukum privat, telah dirugikan pemenuhan hak konstitusionalnya karena keberadaan ketentuan UU P2SK telah menghilangkan hak konstitusionalnya dalam rangka membela kepentingan hukum anggotanya selaku pekerja dan warga negara. Kerugian yang dialami karena tidak dapat menempuh upaya hukum melalui sarana penegakan hukum di Kepolisian RI atas terjadinya tindak pidana di sektor jasa keuangan—seperti permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Kecuali hanya melalui proses penegakan hukum saat penanganan penyidikan tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
Dalam pandangan Pemohon I konsekuensi keberadaan ketentuan UU P2SK tersebut, dinilai menimbulkan persoalan konstitusional dalam hal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu Otoritas Jasa Keuangan. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU P2SK yang sangat potensial dengan penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi melakukan penanganan penyidikan tunggal tindak pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Tertentu Otoritas Jasa Keuangan. Apabila dimaknai hanya satu-satunya sarana penangangan penyidikan tunggal tindak pidana oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan norma ini berdampak langsung terhadap kepentingan hukum anggota Pemohon I yang sedang dalam pegawasan dan penanganan administratif oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Lebih teperinci dalam permohonan dinyatakan ketidakpastian hukum dalam proses penegakan hukum apabila Pemohon II hanya dapat menempuh upaya hukum sebagaimana ketentuan pasal-pasal a quo yang menyatakan fungsi penyidikan tunggal yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK. Dalam pandangan Pemohon sebagai bagian dari masyarakat, kemudian tidak terlayani dengan baik dalam penegakan hukum atas penolakan laporan pidananya. Sehingga fungsi OJK sebagai pihak yang melakukan penyidikan ini dinilai telah memonopoli penyidikan di sektor jasa keuangan. Akibatnya hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip due proces of law berdasarkan asas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta mereduksi kewenangan Kepolisian RI sebagai organ utama alat negara yang bertugas menegakkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Untuk itu, dalam petitum provisinya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan provisi para Pemohon. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan menunda keberlakuan UU P2SK sampai ada putusan Mahkamah dalam perkara a quo. Selama penundaan tersebut, undang-undang yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim