JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 pada Rabu (3/5/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perkara Nomor 93/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi. Sidang tersebut digelar secara hybrid dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Ahli yang dihadirkan MK. Ahli dimaksud yakni Elizabeth Kristi Poerwandari (Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, UI), Akhmad Budi Cahyono (Dosen dan Peneliti Hukum Perdata Fakultas Hukum UI, dan Ronny Tri Wirasto (Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada).
Kristi Poerwandari yang hadir langsung dalam ruang sidang mengatakan stigmatisasi pada penyandang disabilitas mental masih banyak terjadi di beberapa tempat dalam berbagai bentuknya. “Sedemikian rupa hingga tertampilkan dalam perilaku atau sikap yang kadang amat merugikan, melanggar hak asasi manusia dan martabat penyandang disabilitas mental. Stigmatisasi juga masih terjadi di Indonesia,” kata Elizabeth.
Terkait karakteristik penyandang disabilitas mental, Elizabeth menyebut untuk sementara acuan yang relatif lengkap yang digunakan dalam pendidikan dan penanganan kasus di lapangan adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi lima (DSM-5) diterbitkan pada 2013. Mengacu pada DSM-5 tersebut dapat disimpulkan bahwa fenomena disabilitas mental itu amat sangat luas mencakup dari mereka yang mengalami persoalan psikis dan tetap dapat menjalankan fungsi-fungsi kemanusiaannya sehari-hari. Relatif tanpa gangguan yang berarti hingga yang mengalami kesulitan untuk itu. Dari yang mengalami kesulitan yang berarti itu pun tidak dapat dilihat sebagai seragam mengingat variasinya amat luas sebagian mengalami kesulitan dalam waktu-waktu tertentu saja.
Menurutnya, perkembangan terkini mengklasifikasi masalah disabilitas mental dalam UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa khususnya Pasal 1 ayat (2) dan (3) dimana disebutkan orang dengan masalah kejiwaan yang selanjutnya disebut ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan dan atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Lalu pada ayat 3, orang dengan gangguan jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia.
Dari uraian yang ditetapkan oleh UU 18/2014 tersebut juga dapat disimpulkan mengenai variasi yang amat luas terkait persoalan kesehatan jiwa.
Sedangkan terkait pemulihan atau penyembuhan serta kemampuan untuk bertanggung jawab atas diri sendiri, Elizabeth menilai cukup banyak persoalan kesehatan mental atau disabilitas mental yang bersifat temporer seperti misalnya depresi. Artinya disabilitas yang dialami amat temporer dapat dipulihkan dengan terapi konseling, obat bahkan dengan refleksi apabila penyandangnya sudah terbiasa dan mampu melakukan itu.
“Pada individu seperti ini, mayoritas waktu kehidupannya dapat dijalani secara baik tanpa disabilitas. Untuk Kesehatan mental berat seperti Skizofrenia yang dipahami sebagai pemulihan ada kesamaannya dengan ketika kita melihat orang-orang dengan melihat orang-orang dengan kesehatan fisik yang memerlukan obat secara rutin misalnya mengalami gejala jantung, tekanan darah tinggi. Jadi memang diperlukan obat ketika kondisi stabil, dosis obat dapat diperkecil, psikiater dapat menjelaskan dengan komprehensif mengenai hal ini,” terang Elizabeth.
Perspektif terhadap Disabilitas Mental
Elizabeth lebih lanjut mengatakan, untuk perspektif terkini mengenai disabilitas mental dan posisinya di depan hukum, kita perlu mengacu pada Konvensi PBB (efektif berlaku 2008) yakni ‘Convention on the Rights of Persons with Disabilities’. Konvensi ini menekankan pentingnya penghormatan pada hak asasi manusia (HAM) dari penyandang disabilitas.
Konvensi menekankan bahwa stigmatisasi dan perlakuan salah pada penyandang disabilitas selama ini perlu diubah dan diperbaiki. Menurutnya, konsep ‘pengampuan’ atau ‘pengganti’ perlu diubah menjadi dukungan bagi pengambilan keputusan (supported decision-making) di mana pengambilan keputusan tetap diambil oleh individu penyandang disabilitas mental. Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas di atas sejak lama, melalui UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan ‘Convention On The Rights of Persons With Disabilities’.
Stigmatisasi pada penyandang disabilitas mental masih banyak terjadi di Indonesia dan Pasal 433 KUHPerdata sesungguhnya merefleksikan stigmatisasi tersebut dalam (a) Bahasa/istilah yang digunakan (‘dungu, sakit otak atau mata gelap’); serta (b) dalam kesimpulan bahwa penyandang disabilitas ‘harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya’.
Perbaikan perlu dilakukan, yakni dengan tidak memberlakukan lagi pasal di atas, terlebih dengan Indonesia telah mengesahkan Konvensi PBB melalui UI no 19 tahun 2011. Konsep ‘supported decision-making’ perlu dipelajari dengan mendalam untuk dapat disiapkan kisi-kisi kebijakan dan pelaksanaannya. Adanya berbagai tantangan dalam melaksanakan Konvensi PBB mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas tidak dapat menjadi alasan untuk tidak mulai melaksanakannya.
Pengampuan dan HAM
Akhmad Budi Cahyono dalam keterangannya mengatakan pengampuan adalah perwalian terhadap orang dewasa yang disebabkan keadaan tertentu dinyatakan tidak cakap hukum. Pengertian kecakapan bertindak (handelingbekwaamheid) sendiri adalah kewenangan untuk bertindak pada umumnya. Hal ini dibedakan dengan kewenangan bertindak (handelingsbevoegdheid) yaitu kewenangan bertindak yang bersifat khusus yang tertuju pada orang-orang tertentu dan untuk tindakan-tindakan hukum tertentu. Adapun kewenangan bertindak dapat dibedakan dengan kewenangan hukum (rechbevoegdheid) atau kewenangan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban di dalam hukum. Dengan demikian, orang yang tidak cakap tetap memiliki hak dan kewajiban sebagai subjek hukum hanya saja tidak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sendiri atau melakukan perbuatan hukumnya sendiri akan tetapi dilakukan melalui wakilnya. Terhadap orang yang ditaruh dibawah pengampuan maka perbuatan hukumnya diwakili oleh pengampunya (curator).
Selain orang yang ditaruh di bawah pengampuan, maka mereka yang dinyatakan tidak cakap atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum adalah mereka yang belum dewasa. Adapun ukuran untuk dinyatakan dewasa adalah umur. Umur dipakai untuk mengukur apakah orang yang melakukan tindakan-tindakan hukum sudah bisa atau paling tidak bisa diangap menyadari sepenuhnya akibat dari perbuatannya. Adapun pihak yang mewakili orang yang belum dewasa adalah orang tua atau wali.
Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Budi, orang yang tidak cakap dianggap belum mampu sepenuhnya menyadari akan tindakan-tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukannya. Oleh karenanya, mereka perlu dilindungi dari tindakan-tindakan atau perbuatan yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Orang yang tidak cakap dianggap tidak mampu mengurus kepentingannya sendiri maupun harta bendanya. Oleh karenanya perlu ditunjuk pihak yang dapat mengurus dan mewakili pihak yang tidak cakap dalam melakukan tindakan-tindakan atau perbuatan hukum atas nama pihak yang diampu atau diwakili.
Dengan ditempatkannya seseorang di bawah pengampuan, lanjut Budi, maka orang tersebut tidak lagi cakap melakukan perbuatan atau tindakan hukum. Perbuatan hukum sendiri diartikan sebegai perbuatan yang melahirkan akibat hukum. Masalahnya, ketentuan pengampuan yang berlaku di Indonesia berdasarkan KUHPerdata tidak memperhatikan adanya kehendak maupun pilihan orang yang yang ditaruh di bawah pengampuan. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan dianggap tidak dapat mengambil keputusan yang baik dan rasional bagi dirinya sendiri maupun harta bendanya sehingga dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini mengakibatkan seseorang yang mengalami gangguan mental (mental impairment) dianggap tidak cakap hukum sehingga perlu mendapat perlindungan dengan menaruhnya di bawah pengampuan. Konsep pengampuan ini dikenal dengan konsep pendekatan status (status-based approached) yang mengalihkan kewenangan untuk mengambil keputusan kepada seorang pengampu (subtitute decision-making). Pengampu dianggap dapat mengambil keputusan yang terbaik guna kepentingan pihak yang ditaruh dibawah pengampuan.
Dalam kaitannya dengan konsep pengampuan, saat ini telah berkembang model paradigma atau model yang mengakomodir konsep HAM. Paradigma atau model baru ini dikenal dengan paradigma atau model hak asasi manusia (human rights- based model or paradigm). Dalam model atau paradigma baru ini tidak menegasikan kecakapan bertindak seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan atau memperoleh keputusan akan tetapi sebaliknya, menyediakan dukungan guna dapat melakukan tindakan atau perbuatan hukum. Model atau paradigma ini memungkinkan seseorang yang mengami gangguan mental untuk melakukan perbuatan atau tindakan hukum dengan bantuan atau dukungan orang lain. Berdasarkan hal ini, model atau paradigma yang baru tersebut menggunakan pendekatan penyediaan dukungan dalam pengambilan keputusan (supported decision-making based-approached) yang menggantikan pendekatan sebelumnya.
Pilihan Terakhir
Budi menjelaskan, meskipun telah terdapat pendekatan yang baru sesuai dengan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, akan tetapi pendekatan tersebut tidak dapat diterapkan sepenuhnya guna memberikan perlindungan terhadap mereka yang memiliki gangguan mental. Terdapat suatu kondisi dimana pihak yang mengalami gangguan mental tidak dapat berkomunikasi sama sekali dengan orang lain sehingga keputusan tidak dapat diambil meskipun dengan bantuan atau dukungan orang lain. Dalam kondisi seperti ini, maka diperlukan orang yang dapat menafsirkan kehendak pihak yang ditaruh dibawah pengampuan secara objektif guna melindungi kepentingannya. Berdasarkan hal tersebut, konsep pengampuan sebagaimana diatur dalam KUH Perdata masih dimungkinkan sebagai pilihan terakhir (last resort).
Berdasarkan hal tersebut di atas, sebelum mengambil keputusan bahwa seseorang ditaruh dibawah pengampuan, maka hakim harus mempertimbangkan kemungkinan seseorang yang akan ditaruh di bawah pengampuan mengambil keputusan secara baik dan rasional dengan dukungan dan bantuan orang lain. Konsep ini tentunya dapat mengharmonisasikan ketentuan dalam KUHPerdata tentang pengampuan dengan UU No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Dengan demikian kemungkinan penyandang disabilitas atau gangguan mental ditaruh di bawah pengampuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 UU No 8 Tahun 2016 adalah pilihan terakhir apabila dukungan dan bantuan terhadap penyandang disabilitas atau ganguan mental guna mengambil keputusan sendiri tidak dimungkinkan.
Baca juga:
Menghapus Stigma Penyandang Disabilitas Mental dalam KUHPerdata
Permohon Perbaiki Uji Stigmatisasi Penyandang Disabilitas Mental
DPR Bahas Definisi Pengampuan dalam KUHPerdata
Penentuan Tindakan Pengampuan Tergantung pada Hakim
Ahli: Pengampuan Bukan Lagi Perlindungan
Fenomena Kematian Perdata Penyandang Disabilitas
MK Tunda Sidang KUHPerdata Soal Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas Mental Perlu Dukungan
Penyandang Disabilitas Berhak Diakui Sebagai Pribadi di Hadapan Hukum
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 93/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi.
Pasal 433 KUHPerdata menyatakan, “Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”.
Kuasa hukum para Pemohon, Anang Zubaidy dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (26/9/2022) secara daring mengatakan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil. Pasal tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental. Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum.
Selain itu, sambung Anang, Pasal 433 KUHPerdata sesungguhnya telah mengakui bahwa gangguan kejiwaan dapat bersifat episodic yakni dengan adanya pencantuman frasa sekalipun kadang cakap mempergunakan pikirannya. Namun Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodic bukan menetap, dikarenakan sifat episodic tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional.
Para Pemohon dalam permohonan juga menyoroti pengobatan dengan menggunakan obat-obatan psikiatri yang fundamental bagi pemulihan kepada orang dengan gangguan jiwa masih belum ditemukan pada saat penyusunan KUHPerdata pada tahun 1830. Menurut Pemohon, pengampuan dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak cakap atau dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas Hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil yang disebut pengampu. Pemohon menambahkan, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad ke-21 dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-19 sudah tidak relevan.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.