JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima pengujian materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (14/4/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang diregistrasi MK dengan Nomor 25/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Tedy Romansa. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,”demikian disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, MK mengatakan terhadap sistematika Perbaikan Permohonan, pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Namun, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama bagian alasanalasan permohonan (posita) permohonan tersebut, Pemohon tidak menguraikan alasan atau argumentasi hukum mengapa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian.
“Pemohon lebih banyak menguraikan mengenai Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang digunakan oleh aparat penegak hukum untuk memproses segala tindak pidana yang berhubungan dengan Pasal a quo. Selain menimbulkan ketidakjelasan, uraian permohonan Pemohon tersebut juga menimbulkan ketidakkonsistenan antara posita dengan petitum Pemohon,” ujar Arief.
Lebih lanjut Arief mengatakan, berkenaan dengan petitum Pemohon, Mahkamah dalam persidangan pada tanggal 16 Maret 2023, dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan telah memberikan nasihat kepada Pemohon agar mempertimbangkan petitum yang tepat guna mencegah kekosongan hukum.
Menurut MK, seluruh rumusan petitum tersebut adalah tidak jelas atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum dalam perkara pengujian undang-undang. Terhadap petitum ini telah dikonfirmasi kembali kepada Pemohon pada saat sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan pada tanggal 29 Maret 2023 dan Pemohon tetap pada pendiriannya. Secara formal, petitum yang demikian bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021.
Sehingga, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan tersebut dan Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun oleh karena adanya ketidakkonsistenan antara posita dan petitum serta petitum tidak lazim sehingga menyebabkan permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur). Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.
Sebelumnya, Pemohon mempersoalkan norma Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”. Pasal 45 ayat (3) menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”. Pemohon mendalilkan UU ITE terdapat banyak pasal karet dan setiap pasal tersebut harus segera direvisi agar tidak berpotensi dapat merusak nilai keadilan dan kebenaran yang tertuang dalam UUD 1945. Pemohon merasa tidak mendapatkan jaminan dan kepastian hukum akibat berlakunya Pasal 27 ayat (3) dan 45 ayat (3) UU ITE. Pemohon merasa didiskriminasi dan tidak mendapatkan perlindungan hukum terhadap pribadinya yang dijamin oleh negara. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita