JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejumlah tujuh orang jaksa atas nama Irnensif (Pemohon I), Zulhadi Savitri Noor (Pemohon II), Wilmar Ambarita (Pemohon III), I Wayan Danan Aryantha (Pemohon IV), Made Putriningsih (Pemohon V), Mangatur Hutauruk (Pemohon VI), Zairida (Pemohon VII) pada Kejaksaaan Agung Republik Indonesia mengujikan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Pasal 40A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pemeriksaan pendahuluan atas perkara Nomor 37/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan oleh Majelis Sidang Panel yakni Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, M. dan Guntur Hamzah pada Kamis (13/4/2023).
Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).”
Pasal 47 UU MK menyatakan “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.”
Pasal 40A UU Kejaksaan menyatakan “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemberhentian Jaksa yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401).”
Melalui Viktor Santoso Tandiasa, para Pemohon menyebutkan berdasarkan Amar Putusan MK Nomor 70/PUU-XX/2022 telah memaknai Pasal 40A UU Kejaksaan telah pula menimbulkan diskriminasi baru bagi jaksa yang diberhentikan sebelum putusan sela dan putusan akhir. Permasalahannya, sambung Viktor, dengan diberhentikannya jaksa setelah Putusan Sela yang di dalamnya disebutkan pemberlakuan batas usia pensiun jaksa yang diatur dengan ketentuan Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan yakni diberlakukan 5 tahun (lima) tahun sejak putusan Mahkamah tersebut diucapkan.
“Sejatinya ketentuan Pasal 40A UU Kejaksaan ini merupakan ketentuan peralihan yang dimaksudkan sebagai transisi keadaan hukum yang mengubah batas usia pensiun jaksa, yang semula dalam Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan ditentukan telah mencapai usia 62 tahun, sedangkan dalam Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan (hasil perubahan) menjadi telah mencapai usia 60 tahun,” sebut Viktor yang hadir di Ruang Sidang Panel MK dengan lima orang Pemohon.
Lebih jelas Viktor mengatakan berdasarkan Pasal 40A UU Kejaksaan pada pokoknya mengatur ketentuan mengenai jaksa yang berusia 60 tahun saat/setelah UU tersebut diundangkan, maka mengikuti ketentuan Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan yakni diberhentikan dengan hormat pada usia 60 Tahun. Pada praktiknya, berbeda dengan jaksa yang berusia 60 Tahun sebelum UU Kejaksaan diundangkan, maka terhadap jaksa tersebut berlaku ketentuan Pasal 12 huruf c UU Kejaksaan dengan diberhentikan dengan hormat pada usia 62 Tahun.
Ketentuan mengenai batas usia pensiun jaksa 60 tahun tersebut diberlakukan 5 tahun sejak putusan Mahkamah Nomor 70/PUU-XX/2022 diucapkan, yakni mulai berlaku sejak 20 Desember 2027. Selanjutnya ketentuan mengenai batas usia pensiun Jaksa 62 tahun tetap berlaku selama lima tahun ke depan, yakni sampai dengan tanggal 19 Desember 2027. Pada praktiknya berlakunya ketentuan batas usia pensiun Jaksa 62 Tahun sebagaimana dimaksud juga diperhitungkan dari Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 diucapkan, yakni sejak 11 Oktober 2022. Sehingga implementasi sebagaimana diatur dalam SE 1/2023 pasca Putusan Nomor 70/PUU-XX/2022, yang pada intinya bagi Jaksa yang telah berusia 60 Tahun yang pensiun dan hak kepegawaiannya ditanggungkan berdasarkan Putusan Sela MK Nomor 70/PUU-XX/2022, maka terhadapnya berlaku batas usia pensiun 62 tahun. Penangguhan pensiun dan hak kepegawaiannya tersebut dicabut dan hak kepegawaiannya dipulihkan serta diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kasus Konkret
Pada kasus konkret, Viktor mengatakan bahwa berdasarkan Surat Edaran tersebut Pemohon I, II, dan III menjadi tidak mendapatkan hak-haknya seperti jaksa lainnya (perlakuan yang berbeda) dengan jaksa yang memiliki kerugian yang sama namun diberhentikan dengan hormat pasca-Putusan Sela dan Putusan Akhir Nomor 70/PUUXX/2022 yang berdampak pada pemulihan hak-hak kepegawaiannya. Namun kemudian para Pemohon kembali mendapatkan perlakuan berbeda (diskriminasi hukum) akibat adanya Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a dan Pasal 47 UU 7/2020 dan tetap tidak mendapatkan jaminan perlindungan atas kerugian hak konstitusionalnya.
Lebih terperinci lagi Viktor menguraikan bahwa akibat pemberlakuan Pasal 40A UU Kejaksaan berakibat pada nama baik serta martabat Pemohon IV karena harus menanggung malu karena pihak dari Bank tempat Pemohon mengambil pinjaman sering datang menagih menggunakan jasa penagihan ke rumah karena tidak bisa membayar. Hal tersebut, cerita Viktor, terjadi akibat Pemohon IV yang secara seketika diberhentikan dengan hormat, sehingga dirinya tidak dapat mempersiapkan diri untuk membayar pinjaman yang sebelumnya selalu dapat dibayar dengan cara dipotong dari gaji yang diterima dengan perhitungan akan lunas saat dirinya pensiun pada usia 62 Tahun.
“Namun secara mendadak dipensiunkan pada usia 60 Tahun. Artinya terdapat dua tahun masa di mana Pemohon harus menanggung utang pinjaman tanpa adanya gaji yang biasanya digunakan untuk membayar pinjaman tersebut. Dampak dari Putusan Nomor 70/PUU-XX/2022 saat diucapkan ini sebenarnya bisa tidak dirasakan oleh Pemohon IV apabila status kepegawaiannya dapat diaktifkan kembali sehingga segala hak-hak kepegawaiannya di instansinya bekerja dapat dipulihkan hingga pada usia 62 tahun. Namun ternyata Pemohon berada pada posisi yang turut terkena perlakuan yang berbeda dalam pemberlakuan Putusan Nomor 70/PUU-XX/2022 karena Pemohon telah diberhentikan dengan hormat sebelum Putusan Sela dan Putusan Akhir. Sehingga Pemohon IV menjadi tidak dapat dipulihkan hak-haknya. Semua itu tentunya terjadi akibat dari pemaknaan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a dan Pasal 47 UU 7/2020 serta pemaknaan Pasal 40A UU 11/2021 dalam Putusan MK Nomor 70/PUU-XX/2022,” urai Viktor.
Perkuat Argumentasi Inkonstitusional
Mendapati permohonan para Pemohon ini, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyebutkan perlu bagi para Pemohon pada alasan permohonan dan petitum untuk memperkuat argumentasi persoalan inkonstitusionalitas Penjelasan dan Pasal 47 UU MK. Oleh karena itu bangunan argumentasinya diperkuat sehingga Pasal 40 UU Kejaksaan yang telah diputuskan Mahkamah. Sebab, MK tidak memiliki badan yang dapat mengeksekusi pelaksanaan dari putusannya. “Terkait dengan retroaktif yang diminta para Pemohon perlu dikanalisasi dengan memberikan analogi yang lebih konkret dengan dampak luas yang ditimbulkan pada perkara-perkara lainnya. Konstruksinya diserahkan pada para Pemohon,” jelas Guntur.
Berikutnya Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan catatan karena norma yang diujikan pernah pula diputuskan MK, sehingga perlu untuk menguraikan perbedaannya atas persoalan yang sama. Selain itu, Enny juga meminta para Pemohon untuk menjelaskan pertentangan norma dengan alasan berbeda serta batu uji yang berbeda itu sangat penting. “Bagaimana Anda bisa memilah dengan putusan lalu. Ini harus diuraikan secara komprehensif termasuk pula dengan ajakan pada Mahkamah untuk mengubah putusannya menjadi retroaktif/berlaku surut. Bangun argumentasi yang kokoh yang berkaitan dengan prinsip erga omnes,” urai Enny.
Sebelum menutup persidangan, Enny menegaskan bahwa para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Sehingga, naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya ke Kepaniteraan MK pada Rabu, 26 April 2023 pukul 13.00 WIB.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Haim.