JAKARTA, HUMAS MKRI – Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma karena kita tidak rela apabila seorang yang disebut sebagai pahlawan menurut negara kita, tetapi dianggap sebagai pecundang di negara lain. “Kita masih mengatakan bahwa kita belum mau mengikuti Statuta Roma,” kata pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana saat menyampaikan keterangan ahli dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) pada Rabu (8/2/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang untuk Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Marzuki Darusman (Pemohon I), Muhammad Busyro Muqoddas (Pemohon II), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI/Pemohon III) ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Hikmahanto yang hadir secara daring sebagai ahli Presiden/Pemerintah menjelaskan, Statuta Roma adalah perjanjian antar negara dengan judul “Statute of International Criminal Court (Statuta Mahkamah Kejahatan Internasional) yang ditandatangani di Roma pada 17 Juli 1998 sehingga sering disebut “Rome Statute”.
Kesiapan Indonesia menuju proses ratifikasi ditandai dengan adanya para prajurit yang telah dibekali hal yang berkaitan dengan hukum humaniter. Selain itu, diperbanyaknya perwira hukum dan yang paling penting menurut Hikmahanto, hakim dan jaksa perlu pemahaman yang baik untuk melakukan proses hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM berat sehingga Indonesia tidak masuk kategori unwilling.
“Pasca tahun 2004 di dunia telah banyak perubahan terkait pelanggaran HAM termasuk para prajurit TNI Indonesia diberi pemahaman dengan baik tentang hukum humaniter. Lalu Negara seperti Amerika Serikat (AS). Tidak hanya negara berkembang saja yang melakukan pelanggaran HAM berat,” jelasnya.
Kemudian, sambung Hikmahanto, Indonesia juga perlu memastikan agar pelaku kejahatan perang asal negara-negara maju dan negara-negara Eropa menghadapi peradilan bila terjadi pelanggaran HAM berat.
Kejahatan Internasional
Hikmahanto juga menerangkan pelanggaran HAM berat yang telah menjadi kejahatan Internasional. Ia menyebut pelanggaran HAM berat bukan suatu pelanggaran yang berat sekali tetapi ini merupakan istilah yang memiliki makna hukum.
“Kalau bicara pelanggaran HAM berat menjadi kejahatan internasional ada setelah Perang Dunia II. Berakhirnya Perang Dunia II telah memunculkan konsep baru untuk mengejar, mempidanakan dan mengadili serta menghukum para pelaku yang menginisiasi perang hingga melakukan tindakan-tindakan perang berlangsung. Di sini muncul kejahatan yang berupa “Gross Violations of Human Rights” yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai “Pelanggaran HAM Berat”. Pelanggaran HAM berat bukan suatu pelanggaran yang berat sekali tetapi ini merupakan istilah yang memiliki makna hukum,” tegasnya.
Asas Universal Pelanggaran HAM Berat
Berkaitan dengan asas universal, Hikmahanto menjelaskan asas universal berlaku bagi mereka yang melakukan pelanggaran HAM berat, dan yang melakukan pelanggaran HAM berat ini adalah warga negara Indonesia. Kalau misalnya mereka melakukan pelanggaran HAM berat ini maka pengadilan mempunyai yurisdiksi. Tetapi pertanyaannya adalah apabila pelanggaran HAM berat itu tidak dilakukan oleh warga negara Indonesia tetapi warga negara asing di luar negeri apakah kita mempunyai yurisdiksi?
“Itu yang isu sekarang ini mungkin menjadi pembahasan. Nah ini yang nanti oleh MK akan ditentukan. Apakah ya, apakah tidak. Saya sendiri sebagai ahli saya mengatakan tidak perlu untuk dibawa warga negara asing ini diadili di pengadilan Indonesia. Kalaupun ada yang membutuhkan silakan mereka meminta ekstradisi dari pemerintah Indonesia dan pemerintah Indonesia tentu dengan senang hati harusnya mau mengirimkan yang bersangkutan,” terang Hikmahanto.
Baca juga:
Menembus Batas Teritorial Pengadilan HAM
AJI Perbaiki Kedudukan Hukum dalam Uji UU Pengadilan HAM
Kuasa Presiden Minta Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Pandangan DPR Soal Pengadilan Pelaku Pelanggaran HAM Berat
Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Tanggung Jawab Negara dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat
Konstitusi Indonesia Melindungi HAM Setiap Orang Termasuk WNA
Sistem Peradilan Myanmar Pasca Kudeta
Yurisdiksi Universal untuk Mengakhiri Impunitas Pelanggaran HAM Berat
Kesaksian Mantan Investigator PBB Soal Pelanggaran HAM Berat di Myanmar
Untuk diketahui, permohonan Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Para Pemohon mengujikan frasa “… oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 UU Pengadilan HAM. Selengkapnya Pasal 5 UU Pengadilan HAM menyatakan, “Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.”
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (26/09/2022), para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Pelanggaran HAM di Myanmar
Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan adanya pembatasan pada Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut, maka sulit bagi para korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran HAM. Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945,” pinta Feri Amsari selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Senin (26/09/2022).
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.