JAKARTA, HUMAS MKRI - Hartono yang berprofesi sebagai notaris mengujikan ketentuan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Panel untuk perkara Nomor 20/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan oleh Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C UU Kejaksaan berbunyi, “Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 3OB Kejaksaan: h. mengajukan peninjauan kembali.”
Penjelasan Pasal 30C UU Kejaksaan berbunyi, “Peninjauan Kembali oleh Kejaksaan merupakan bentuk tugas dan tanggung jawab Kejaksaan mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, dengan menempatkan kewenangan Jaksa secara proporsional pada kedudukan yang sama dan seimbang [equality of arms pinciple] dengan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Peninjauan Kembali yang diajukan oleh oditurat dikoordinasikan dengan Kejaksaan. Jaksa dapat melakukan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.”
Singgih Tomi Gumilang selaku kuasa hukum Pemohon, menjabarkan pokok permohonan permohonan di Ruang Sidang Panel MK pada Kamis (23/2/2023). Singgih menceritakan kasus konkret yang dialami Pemohon yang menjadi terdakwa dalam perkara pidana dan diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Gianyar, Bali sehingga dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun.
Atas putusan tersebut, Pemohon pada 15 November 2019 melakukan Banding dan Jaksa Penuntut Umum mengajukan pada 14 November 2019. Kemudian Pengadilan Tinggi Denpasar menyatakan Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sehingga membebaskannya dari segala dakwaan. Namun kemudian Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 21 Januari 2020. Majelis Hakim Peninjauan Kembali menjatuhkan putusan Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dalam surat dakwaan penuntut umum.
“Akan tetapi kemudian Jaksa/Penuntut Umum kembali mengajukan Peninjauan Kembali pada 26 Desember 2022. Atas hal ini Pemohon sungguh merasa sangat dirugikan hak konsitusional karena tidak adanya kepastian hukum dalam perkara pidana yang dialami oleh Pemohon. Hal yang Jaksa/Penuntut Umum ini sesungguhnya mengacu pada Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan,” cerita Singgih.
Perbandingan dengan Negara Lain
Atas permohonan ini, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan catatan nasihat, di antaranya terkait pasal yang diujikan pernah diuji di MK melalui Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 dan 16/PUU-VI/2008. Kaitannya dengan ini, Pemohon diharapkan dapat memberikan perbandingan dengan negara lain, di mana jaksa sejatinya mewakili kepentingan negara dan korban sehingga diperbolehkan melakukan PK. “Apakah dalam sistem hukum pidana negara lain secara universal hanya diberikan kepada terpidana atau terdakwa atau ada yang justru memberikannya pada jaksa,” kata Arief.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menambahkan nasihat tentang pengujian yang dilakukan MK bukanlah kasus konkret. Oleh karena itu, pada bagian kerugian yang dialami dapat dikorelasikan dengan legal standing Pemohon. Dengan kata lain proses PK tidak hanya dialami Pemohon saja, tetapi dialami orang lain yang perlu ditunjang dengan data-data pendukung. Selanjutnya atas uraian ketidakpastian hukum yang disebutkan Pemohon, tidak cukup dengan satu alasan saja sehingga perlu dibangun argumentasi hukum.
Berikutnya Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menegaskan kedudukan hukum yang perlu dielaborasi secara mendalam. Sehingga terlihat norma yang diujikan ini telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon. Terkait dengan permohonan yang telah diputuskan MK pada permohonan sebelumnya, pada praktiknya perihal PK ini masih terjadi penyimpangan pelaksanaannya. “Oleh karena itu, Pemohon perlu menguraikan kembali PK yang dimaksud seperti apa? Ini perlu dijawab pada perbaikan permohonan,” jelas Manahan.
Sebelum menutup persidangan, Manahan menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Kemudian hasil perbaikan permohonan diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Rabu, 8 Maret 2023 pukul 13.30 WIB.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita