JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (30/1/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang diregistrasi MK dengan Nomor 3/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Ihda Misla, seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil.
Pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, Henny Aliah Zahra selaku kuasa hukum Pemohonmengatakan telah memperbaiki permohonan pemohon. “Kemarin itu karena belum pengalaman jadi penulisannya agak berantakan, Yang Mulia. Untuk hari ini, kita sudah memperbaikinya,” ujarnya.
Henny mengatakan, pihaknya telah memasukkan kewenangan MK dan kedudukan hukum. “Pada permohonan sebelumnya belum terdapat Kewenangan Mahkamah Konstitusi hari ini ada, kedudukan hukum juga sudah ada. Selain itu, memasukkan alasan, petitum dan kerugian konstitusional yang dialami pemohon yang mana sebelumnya tidak ada,” terangnya.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Peninjauan Kembali
Adapun alasan diajukannya pengujian ini dikarenakan Pemohon pernah mengajukan upaya hukum luar biasa dan permohonan peninjauan kembali dan diputus dalam peninjauan kembali Pemohon pernah mengajukan upaya hukum luar biasa atau permohoan peninjauan kembali dan diputus oleh Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 55/Pid.SusTPK/2019/PN.Bna juncto Putusan Peninjauan Kembali Nomor 763/PK/Pid.Sus/2022 tanggal 4 Agustus 2022. Menurut Henny, MA menolak peninjauan kembali terpidana yang diajukan oleh Pemohon. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Pidana Bab 18 UU 8 Nomor 1981 Peninjauan kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan Indonesia. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa, yaitu persidangan di pengadilan negeri. Untuk itu, Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan, Pemohon mendalilkan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak sesuai dengan prinsip negara hukum. Prinsip negara hukum yang menjamin hak konstitusional warga negara untuk memperjuangkan keadilan dan bertolak belakang dengan hukum responsif dan progresif. Sehingga untuk mencari keadilan tidak boleh ada pembatasan. Selain itu, Pemohon, dalam hukum pidana letak keadilan lebih tinggi daripada kepastian hukum. Sehingga, apabila harus memilih maka keadilan menyimpangkan kepastian hukum. Dengan demikian, peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari sekali adalah dalam rangka mencari dan memperoleh keadilan walaupun menyampingkan kepastian hukum. Di sisi lain, peninjauan kembali jelas-jelas tidak ada relevansinya dengan kepastian hukum. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita