JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Perkara Nomor 82/PUU-XX/2022 diajukan oleh lima Pemohon, yaitu Ismail Hasani, Laurensius Arliman, Bayu Satria Utomo, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman yang membacakan Amar Putusan pada Selasa (20/12/2022) di Ruang Sidang .
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Mahkamah mengungkapkan para Pemohon] mendalilkan pembentukan UU P3 adalah pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan pembentukan UUP3 berangkat dari semangat untuk menyempurnakan peraturan mengenai pembentukan peraturan perundangundangan yang sesuai dengan perkembangan hukum dan untuk menampung kebutuhan masyarakat serta perkembangan dinamika legislasi. Semangat tersebut bersamaan dengan penyusunan kajian teoritis dan praktik empiris terhadap 2 (dua) tema besar, yakni metode omnibus law dan mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi informasi sehingga tidak bersifat konservatif sebagaimana dilakukan sebelumnya.
“Dalam praktik pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa permasalahan, di antaranya belum diakomodasinya metode penyusunan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law sebagai implikasi dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020,” ujar Wahiduddin.
Kemudian, Wahiduddin mengungkapkan menurut Mahkamah, upaya mengakomodasi metode baru tersebut untuk menghindari pembentukan undang-undang yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang tindih, tidak efektif dan tidak efisien sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Oleh karena itu, lanjutnya sepanjang semangat untuk menciptakan kepastian hukum dimaksud tetap mempertahankan esensi dengan tidak memutuskan mata rantai dari setiap hakikat undang-undang yang dibentuk dengan menggunakan metode omnibus law, maka kekhawatiran para Pemohon berkaitan dengan pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism adalah sesuatu yang tidak beralasan karena dalam pembentukannya tetap bersumber dan berlandaskan pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Terlebih lagi, berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, dan tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas substansi atau norma dari Undang-Undang yang bersangkutan, telah ternyata pengaturan metode omnibus law memberikan efek yang positif dalam pembentukan undang-undang dan pembangunan hukum nasional. Dengan demikian, pengaturan mekanisme partisipasi masyarakat memberikan dampak positif untuk mewujudkan prinsip good governance dalam proses legislasi yang demokratis dan transparan. Hal tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum di atas, berkaitan dengan hal tersebut telah ternyata proses pembentukan UU 13/2022 jauh lebih luas penerapan asas keterbukaannya dibandingkan dengan UU 12/2011.
“Sehingga, berdasarkan uraian fakta hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon berkenaan dengan pembentukan UU 13/2022 menjadikan pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism adalah tidak beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat telah ternyata proses pembentukan UU 13/2022 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 13/2022 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Wahiduddin.
Baca juga:
Revisi UU P3 Dinilai Tak Memenuhi Syarat
Pemohon Uji Formil UU P3 Lampirkan Bukti Observasi
Pemerintah Tegaskan RUU P3 Masuk Daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2022
DPR Minta Sidang Uji Formil UU P3 Ditunda
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 82/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) diajukan oleh lima Pemohon yaitu Ismail Hasani, Laurensius Arliman, Bayu Satria Utomo, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Senin (5/9/2022) menilai revisi kedua UU P3 tidak memenuhi syarat sebagai RUU kumulatif terbuka. Sebab, UU tersebut bukanlah suatu bentuk tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 karena putusan tersebut sama sekali tidak menyebutkan UU P3 bertentangan dengan UUD 1945. Hal yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja yang bermasalah, di antaranya, Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pasal 72 ayat (1) huruf a, Pasal 73 ayat (1), Pasal 96 ayat (3).
Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan proses pembahasan UU P3 tidak memperhatikan partisipasi masyarakat dan dilakukan secara tergesa-gesa. Sebab, pada praktik partisipasi dalam pembentukan revisi UU P3 hanya sampai pada tangga “informing” karena informasi hanya diberikan secara satu arah dari pembentuk undang-undang ke publik tanpa adanya saluran untuk memberikan umpan balik dan tidak ada kekuatan untuk negosiasi. Alat komunikasi yang sering digunakan untuk komunikasi ini hanyalah media berita, pamflet, poster, dan alat komunikasi sederhana lainnya.
Berikutnya, para Pemohon juga menyebutkan UU P3 merupakan inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 8 Februari 2022 yang disahkan pada 24 Mei 2022. Sehingga proses pembahasan hanya dilakukan selama 7 April 2022 hingga 24 Mei 2022. Di samping itu, para Pemohon mengatakan pembentukan UU P3 melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh karenanya, revisi dari UU P3 tidak mengindahkan asas kejelasan tujuan, asas kelembagaan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F