JAKARTA, HUMAS MKRI – Dalam perkembangan perlindungan hak asasi manusia, tindakan pengampuan bukan lagi merupakan bentuk perlindungan. Hal tersebut karena perlindungan berarti bertujuan agar setiap orang tidak terlanggar atau tercabut haknya. Sementara ketentuan pengampuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata justru menegaskan adanya perpindahan hak.
Hal tersebut disampaikan oleh Fajri Nursyamsi yang merupakan Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera sebagai Ahli dalam sidang yang digelar pada Selasa (13/12/2022). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 93/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam Pasal 452 KUHPerdata yang berada dibawah lingkup Pasal 433 disebutkan bahwa, “Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa”. Ia menyebut, pasal ini sebenarnya menegaskan ada perpindahan dan ada anggapan orang yang tadinya dewasa menjadi tidak dewasa, seseorang yang memiliki hak menjadi tidak memiliki hak.
“Inilah salah satu yang menjadi pengampuan sudah bukan lagi pengampuan. Dampaknya apabila pengampuan diterapkan seseorang yang dibawah pengampuan dianggap tidak memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan keperdataan. Ada yang tadinya mampu menjadi tidak mampu,” jelas Fajri di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dikatakan Fajri, kapasitas untuk melakukan tindakan hukum keperdataan bagi seseorang yang berada di bawah pengampuan berpindah kepada pengampunya. “Inilah konteks yang semakin menegaskan bahwa ada perpindahan, ada tanggung jawab yang berpindah dan ada hak yang kemudian ikut berpindah. Oleh karena itu, tidak berlebihan ketika pengampuan itu sama dengan penguasaan seseorang oleh pribadi orang lain dan itu bentuk dari tindakan diskriminatif,” terangnya.
Fajri juga menegaskan, ketika bicara diskriminatif lingkup yang digunakan adalah ada pemikiran yang berkembang, tidak hanya berkisar pada satu pemikiran. Menurutnya, ketika HAM dipandang sebagai sebuah aspek yang menyamaratakan setiap orang tetapi perkembangannya pada tahun 90an mengatakan cara pandangnya sudah melihat pada kelompok-kelompok tertentu karena terdapat perbedaan staf, kondisi antara satu kelompok ke kelompok lain.
“Kalau kita bicara hukum acaranya ketika hanya merujuk Pasal 1 angka 3 UU HAM disana hanya menyebutkan kelompok-kelompok tertentu saja karena rujukannya belum menggunakan rujukan yang berkembang dan seolah-olah memang menihilkan perkembangan konsep dari HAM itu sendiri dan kelompok rentan yang ada di Indonesia. Hal itu sebenarnya sudah dikoreksi oleh Pasal 28i ayat 2 UUD 1945, dimana tindakan diskriminatif itu dasarnya atas dasar apapun. Kenapa menggunakan atas dasar apapun, karena sifatnya yang terus berkembang, diskriminasi bisa terlaksana karena kondisi apapaun, kondisi yang mungkin semakin berkembang,”jelas Fajri.
Pengampuan yang diskriminatif
Fajri juga menjelaskan bahwa Pasal 433 KUHPerdata mendasarkan seseorang untuk tidak memiliki kapasitas dalam melakukan tindakan hukum keperdataan atas dasar kondisi fisik dan mentalnya. Padahal apabila lihat Pasal 28I UUD 1945 tidak boleh didasarkan pada sesuatu hal terkait dengan pembatasan, pengucilan dan lainnya. Itu pun menjadi prinsip dalam Pasal 2 Paragraf 3 CRPD. “Kondisi mental dan fisik tidak bisa dijadikan untuk membedakan atau memberi pembatasan dan pengucilan seseorang,” tegasnya.
Selain itu, sambung Fajri, Pasal 433 KUHPerdata juga menggunakan kata “harus” yang berarti pengambilalihan ha katas tindakan hukum keperdataan seseorang kepada orang lain yang dilakukan berdasarkan norma bukan kesukarelaan dari pihak yang diampunya. Ia menyebut norma seharusnya menjadi pelindung bagi warga negara atau setiap orang. Pelindung atas hak-hak atas HAMnya termasuk bagian dari negara sebagai pengemban kewajiban.
“Dalam hal ini perlu dipahami bahwa kalau dari rangkaian tersebut maka bisa dikatakan kata ‘harus’ menjadi Pasal 433 diksriminatif dan perpindahan kepemilikan menjadi keharusan berdasarkan norma,” tandas Fajri.
Sebelumnya, Pemohon mengatakan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil. Pasal tersebut masih menggabungkan antara kapasitas mental dan kapasitas hukum sehingga setiap orang dewasa selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk mengambil keputusan dan harus berada di bawah pengampuan. Pasal tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental. Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum. Penggunaan frasa dungu, gila atau mata gelap merupakan istilah yang sudah sangat usang, cenderung merendahkan dan tidak sesuai dengan ilmu Kesehatan, khususnya di bidang kesehatan jiwa dan menimbulkan stigma negatif yang melekat pada penyandang disabilitas mental.
Selain itu, Pasal 433 KUH Pedata sesungguhnya telah mengakui bahwa gangguan kejiwaan dapat bersifat episodik, yakni dengan adanya pencantuman frasa sekalipun kadang cakap mempergunakan pikirannya. Namun Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodik bukan menetap, dikarenakan sifat episodik tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional. Sifat episodic dari kondisi disabilitas mental seringkali tidak menjadi pertimbangan hakim pada saat menjatuhkan penetapan pengampuan bahkan tidak memberikan ruang bagi kondisi atau proses sehat dari penyandang disabilitas mental yang mana dalam kondisi tertentu ia dapat membuat keputusan yang baik. Hal tersebut dikarenakan penyandang disabilitas episodic juga telah diakui oleh MK dalam Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 yang berkaitan dengan diberikannya hak memilih bagi penyandang disabilitas mental.
Para Pemohon dalam permohonan juga menyoroti pengobatan dengan menggunakan obat-obatan psikiatri yang fundamental bagi pemulihan kepada orang dengan gangguan jiwa masih belum ditemukan pada saat penyusunan KUHPerdata pada tahun 1830. Menurut Pemohon, pengampuan dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak cakap atau dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas Hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil yang disebut pengampu. Pemohon menambahkan, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad ke-21 dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-19 sudah tidak relevan.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.(*)
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Muhammad Halim