JAKARTA, HUMAS MKRI – Terdapat peran dan fungsi hakim dan pengadilan dalam menempatkan seseorang di bawah pengampuan dalam keadaan atau peristiwa hukum yang konkret sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam mengeluarkan suatu keputusan hakim tentunya menggunakan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hal tersebut disampaikan oleh Lucky Agung Binarto yang merupakan Staf Ahli Menteri di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam sidang Pengujian Materiil Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 pada Senin (5/12/2022) dengan agenda mendengar keterangan Ahli Pemohon. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 93/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi.
Dikatakan Lucky, tindakan pengampuan tidak seharusnya dianggap sebagai bentuk perbuatan yang mengurangi hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum. Sebaliknya harus dipahami sebagai tindakan yang bertujuan untuk melindungi seseorang yang tidak memiliki kecakapan melakukan suatu perbuatan hukum yang bilamana tidak diwakili justru akan menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
“Mengacu pada Pasal 1 butir 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang UU Hak Asasi Manusia atau UU HAM yang menyatakan diskrimimasi adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau pengapusan pengakuan pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya,” ujar Lucky di hadapan Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi lima hakim konstitusi lainnya.
Lucky mengatakan, berdasarkan pengertian tersebut seharusnya tindakan menempatkan seseorang yang memiliki kondisi-kondisi khusus seperti dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap di bawah pengampuan tidak dipandang sebagai manifestasi dari perlakuan yang diskriminatif. Sebab, lanjutnya, pembatasan maupun pembedaan perlakuan yang ada tidak didasari hal-hal yang menimbulkan rasa ketidakadilan, namun dilakukan dalam konteks perlindungan pada mereka yang termasuk dalam kondisi rentan.
Menurut Lucky, apabila dicermati ketentuan pasal tersebut, maka pada prinsipnya setiap orang berhak atas perlakuan dan perlindungan yang sama di hadapan hukum serta bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak memihak. Namun demikian KUHPerdata menegaskan bahwa kelompok masyarakat rentan berhak mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang lebih karena kekhususannya.
“Mengingat bahwa orang-orang dalam keadaan dungu, gila, mata gelap atau keborosan rentan dengan berbagai kemungkinan resiko yang merugikan dirinya maupun orang lain. Maka, adanya Pasal 433 KUHPerdata justru diperlukan untuk melindungi hak-hak mereka. Dengan demikian maka pengampuan yang diatur dalam Pasal 433 KUHPerdata adalah untuk memberikan perlindungan hukum baik bagi penyandang disabilitas maupun bagi pihak lainnya dan bukan merupakan bagian dari tindakan diskriminatif,” tegas Lucky.
Lebih lanjut Lucky menjelaskan, apabila semua manusia dapat mendukung semua hak dan kewajiban atau subjek hukum, maka tidak berarti semua subjek hukum dapat leluasa secara mandiri melaksanakan hak-haknya melalui perbuatan hukum. Untuk itu harus ada kecakapan bertindak yaitu kewenangan untuk melakukan tindakan hukum. Pada umumnya, terdapat dua subjek hokum, yakni subjek hukum yang dinyatakan dalam UU tidak cakap untuk melakukan tindakan hukum dan subjek hukum yang memiliki kewenangan yang terbatas dalam arti harus didampingi atau mendapat persetujuan dari orang lain.
Bertentangan dengan Konvensi
Dalam sidang tersebut, para Pemohon menghadirkan Risnawati Utami yang merupakan anggota komite penyandang disabilitas PBB sebagai Ahli. Ia mengungkapkan Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila yang akan terus menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai perlindungan dan pemajuan hak asasi pada kelompok rentan khususnya kelompok disabilitas. Dikatakan Risnawati, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan tentang disabilitas. “Hal ini jelas bahwa dalam konteks perundang-undangan di negara kita sangat mendukung upaya secara terus-menerus pemajuan hak asasi manusia,” ungkapnya.
“Namun demikian, setelah dianalisis sangat bertentangan dengan konvensi hak penyandang disabilitas terutama Pasal 4 yang berkaitan dengan kewajiban umum atau kewajiban negara dimana ketika telah meratifikasi konvensi ini secara penuh ditingkat domestik atau dalam negeri memenuhi terhadap hak-hak yang diatur dalam konvensi tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun berdasarkan disabilitas yang dibuat secara eksplisit serangkaian kewajiban secara terperinci,” papar Risnawati.
Baca juga:
Menghapus Stigma Penyandang Disabilitas Mental dalam KUHPerdata
Permohon Perbaiki Uji Stigmatisasi Penyandang Disabilitas Mental
DPR Bahas Definisi Pengampuan dalam KUHPerdata
Untuk diketahui, para Pemohon sebelumnya mendalilkan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil. Pasal a quo masih menggabungkan antara kapasitas mental dan kapasitas hukum sehingga dimana setiap orang dewasa selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk mengambil keputusan dan harus berada di bawah pengampuan. Pasal tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental. Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum. Penggunaan frasa dungu, gila atau mata gelap merupakan istilah yang sudah sangat usang, cenderung merendahkan dan tidak sesuai dengan ilmu Kesehatan, khususnya di bidang kesehatan jiwa dan menimbulkan stigma negatif yang melekat pada penyandang disabilitas mental.
Selain itu, Pasal 433 KUH Pedata sesungguhnya telah mengakui bahwa gangguan kejiwaan dapat bersifat episodik, yakni dengan adanya pencantuman frasa sekalipun kadang cakap mempergunakan pikirannya. Namun Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodic bukan menetap, dikarenakan sifat episodic tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional. Sifat episodic dari kondisi disabilitas mental seringkali tidak menjadi pertimbangan hakim pada saat menjatuhkan penetapan pengampuan bahkan tidak memberikan ruang bagi kondisi atau proses sehat dari penyandang disabilitas mental yang mana dalam kondisi tertentu ia dapat membuat keputusan yang baik. Hal tersebut dikarenakan penyandang disabilitas episodik juga telah diakui oleh MK dalam Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 yang berkaitan dengan diberikannya hak memilih bagi penyandang disabilitas mental.
Para Pemohon dalam permohonan juga menyoroti pengobatan dengan menggunakan obat-obatan psikiatri yang fundamental bagi pemulihan kepada orang dengan gangguan jiwa masih belum ditemukan pada saat penyusunan KUHPerdata pada tahun 1830. Menurut Pemohon, pengampuan dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak cakap atau dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas Hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil yang disebut pengampu. Pemohon menambahkan, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad ke-21 dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-19 sudah tidak relevan.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.(*)
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Muhammad Halim.