JAKARTA, HUMAS MKRI – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menguji aturan batas usia bagi pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 29 huruf (e) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sidang perdana Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (1/12/2022) di Ruang Sidang Panel.
Dalam sidang yang digelar secara daring, Walidi yang merupakan kuasa hukum pemohon menyampaikan bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia dalam hal ini menjabat sebagai Wakil Ketua KPK yang telah diangkat memenuhi kualifikasi berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2022 (UU KPK pertama).
“Namun dengan berlakunya Pasal 29 huruf (e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dalam pandangan pemohon bertentangan dengan konstitusi dan mengakibatkan Pemohon dirugikan,” ujar Walidi di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Walidi menyebut, dengan berlakunya Pasal 29 huruf (e) UU KPK telah mengurangi hak konstitusional Pemohon. Berlakunya ketentuan pasal a quo yang semula mensyaratkan usia paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun, setelah perubahan menjadi paling rendah adalah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun mengakibatkan pemohon yang usianya belum mencapai 50 tahun tidak dapat mencalonkan diri kembali menjadi pimpinan KPK untuk periode yang akan datang. Hal ini kontradiktif dengan Pasal 34 UU Nomor 30 Tahun 2002.
“Dengan demikian sangat jelas pemohon saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua KPK terugikan hak konstitusionalnya dan mendapatkan jaminan kepastian hukum dalam mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK untuk periode selanjutnya,” jelas Walidi.
Walidi juga menjelaskan, Pemohon kehilangan haknya, yaitu tidak mendapatkan perlakuan yang sama di pemerintahan, tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan kehilangan haknya untuk memperoleh pekerjaan dengan perlakuan adil dengan berlakunya Pasal 29 huruf (e) UU KPK.
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa dirinya telah dirugikan secara konstitusional untuk mencalonkan diri sebagai Pimpinan KPK pada masa jabatan selanjutnya. Pemohon meyakini bahwa aturan pembatasan usia minimal menduduki jabatan pemerintahan memiliki makna agar pemangku kepentingan terpilih tersebut adalah orang sudah memiliki kedewasaan. Sehingga, menurut Pemohon, orang yang telah berpengalaman dalam suatu jabatan harus pula dipandang “telah memenuhi syarat secara hukum” untuk memenui jabatan tersebut. Adapun dengan berlakunya pasal a quo, Pemohon berpandangan bahwa dirinya telah kehilangan hak atas kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta untuk memperoleh pekerjaan dengan perlakuan yang adil. Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK inkonstitusional secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak juga terdapat ketentuan “berpengalaman sebagai Pimpinan KPK” pada Pasal 29 huruf (e) UU KPK.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyarankan pemohon untuk mencermati kalimat yang terdapat dalam Posita dan Petitum. “Saya melihat antar-posita dan petitum kelihatan ada kontradiktif. Di posita halaman 13, Ibu Ginting dan Pak Walidi mencantumkan bahwa batasan umur 50 tahun itu bertentangan dengan UUD 1945, jadi batasan usia ini 50 tahun ini bertentangan tetapi di petitumnya bapak menyatakan sebetulnya tidak bertentangan cuma ingin menambah atau batas usia paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK. Jadi sebetulnya 50 tahun itu kalau dilihat dari petitum tidak mengatakan bahwa inkonstitusional. Ini alternatif berarti ‘kan, salah satunya konstitusional. Batasan umur 50 tahun bertentangan. Ini perlu dicermati lagi mungkin kalimatnya tidak begitu tidak seperti itu wording-nya supaya tidak dianggap bertentangan, ”ujarnya.
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan bahwa di dalam posita terdapat pengulangan yakni pada posita angka 5 di halaman 10 dan dalil posita angka 21 halaman 18. “Itu sama persis, itu nanti dapat dipertimbangkan tidak perlu redunden agar memilih salah satu apakah ingin angka 5 yang dipakai atau angka 21, coba dicermati ya,” ujar Daniel.
Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja bagi Pemohon untuk melakukan perbaikan. Selambatnya Pemohon harus menyerahkan perbaikan permohonan pada 14 Desember 2022. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita