JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Materiil Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 pada Rabu (23/11/2022) dengan agenda mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 93/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi.
Dalam persidangan yang digelar secara daring, Anggota Komisi III DPR Supriansa mengatakan pengampuan adalah keadaan seseorang yang disebut curandus karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau di dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak.
“Orang tersebut diberi wakil menurut UU yang disebut pengampu. Menurut P.N.H. Simanjuntak, Pengampuan adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seseorang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa. Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap dan karena boros ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya,” ujar Supriansa dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dengan alasan tertentu seseorang yang sudah dewasa disamakan kedudukannya dengan seseorang yang minderjarig, karena walaupun sudah dewasa, tetapi orang tersebut dianggap tidak cakap bertindak untuk melakukan perbuatan hukum. “Dalam pasal 433 sampai dengan pasal 462 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) alasan yang mengharuskan seseorang ditaruh di bawah pengampuan adalah karena keadaan dungu, karena sakit otak, mata gelap dan karena boros,” sebut Supriansa yang mewakili DPR.
Menurut Supriansa, pengampuan akan berakhir bila sebab-sebab yang mengakibatkannya perwakilan tetapi pembebasan dari pengampuan itu tidak akan diberikan selain dengan memperhatikan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang guna memperoleh pengampuan. Terkait dengan penyandang disabilitas, ia mengatakan tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara mandiri akan tetapi disebut sebagai subjek hukum. Sehingga ketentuan a quo bukan menghilangkan hak penyandang disabilitas sebagai subjek hukum. Mereka hanya mengharuskan penyandang disabilitas menggunakan hak dan kewenangannya tersebut melalui mekanisme pengampuan.
Supriansa menerangkan, di dalam ketentuan Pasal UU tentang Penyandang disabilitas menjelaskan penyandang disabilitas dinyatakan tidak cacat melalui penetapan pengadilan negeri dengan didasarkan alasan yang jelas dan wajib menghadirkan atau melampirkan bukti dari dokter dan/atau psikiater. Selain penetapan cacat terdapat juga pembatalan yang dapat ditetapkan di pengadilan negeri.
Baca juga:
Menghapus Stigma Penyandang Disabilitas Mental dalam KUHPerdata
Permohon Perbaiki Uji Stigmatisasi Penyandang Disabilitas Mental
Sebelumnya, mengatakan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil. Pasal a quo masih menggabungkan antara kapasitas mental dan kapasitas hukum sehingga dimana setiap orang dewasa selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk mengambil keputusan dan harus berada di bawah pengampuan. Pasal tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental. Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum. Penggunaan frasa dungu, gila atau mata gelap merupakan istilah yang sudah sangat usang, cenderung merendahkan dan tidak sesuai dengan ilmu Kesehatan, khususnya di bidang kesehatan jiwa dan menimbulkan stigma negatif yang melekat pada penyandang disabilitas mental.
Selain itu, Pasal 433 KUH Pedata sesungguhnya telah mengakui bahwa gangguan kejiwaan dapat bersifat episodic yakni dengan adanya pencantuman frasa sekalipun kadang cakap mempergunakan pikirannya. Namun Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodic bukan menetap, dikarenakan sifat episodic tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional. Sifat episodic dari kondisi disabilitas mental seringkali tidak menjadi pertimbangan hakim pada saat menjatuhkan penetapan pengampuan bahkan tidak memberikan ruang bagi kondisi atau proses sehat dari penyandang disabilitas mental yang mana dalam kondisi tertentu ia dapat membuat keputusan yang baik. Hal tersebut dikarenakan penyandang disabilitas episodic juga telah diakui oleh MK dalam Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 yang berkaitan dengan diberikannya hak memilih bagi penyandang disabilitas mental.
Para Pemohon dalam permohonan juga menyoroti pengobatan dengan menggunakan obat-obatan psikiatri yang fundamental bagi pemulihan kepada orang dengan gangguan jiwa masih belum ditemukan pada saat penyusunan KUHPerdata pada tahun 1830. Menurut Pemohon, pengampuan dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak cakap atau dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas Hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil yang disebut pengampu. Pemohon menambahkan, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad ke-21 dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-19 sudah tidak relevan.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.(*)
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Muhammad Halim.