JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar kembali sidang lanjutan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada Selasa (22/11/2022) di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin ketua MK Anwar Usman beserta delapan hakim konstitusi lainnya. Permohonan Nomor 86/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian KUHP ini diajukan oleh Robiyanto yang berprofesi sebagai wiraswasta.
Semula, agenda sidang kelima ini yakni mendengarkan keterangan Ahli Pemohon atas nama Suhandi Cahaya. Namun, menurut laporan dan catatan Kepaniteraan MK, keterangan tertulis dari Ahli Pemohon baru diajukan kemarin (21/11/2022) sehingga keterangan Ahli Pemohon belum dapat didengar pada persidangan hari ini. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Persidangan Jarak Jauh disebutkan, keterangan ahli disampaikan kepada Mahkamah paling lambat 2 hari kerja sebelum persidangan dilaksanakan.
“Untuk mendengar keterangan Ahli dari Pemohon ditunda hari Rabu, 30 November 2022, Pukul 11:00 WIB. Dengan catatan, kekurangannya, CV dan izin dari Ahlinya supaya dipenuhi sebelum tanggal 30 November 2022,” demikian disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman.
Dalam persidangan, kuasa hukum pemohon Jhon Asron Purba menyampaikan permintaan maaf atas keterlambatan keterangan maupun curriculum vitae (CV) dari ahli Pemohon. “Kami mohon maaf, Yang Mulia, ada keterlambatan, Yang Mulia, untuk surat tugas dari Universitas Jayabaya. Dan CV Ahli kami, Yang Mulia, kami tetap ingin mengajukan Ahli kami, Yang Mulia, untuk kesempatan berikutnya,” ujar Jhon secara daring.
Baca juga:
Tak Peroleh Keadilan Atas Kematian Orang Tuanya, Ahli Waris Uji KUHP
Pemohon Uji KUHP Pertajam Kerugian Konstitusional
DPR Sebut Adanya Perubahan Masa Daluwarsa Kasus dalam RUU KUHP
Sebagai informasi, Robiyanto (Pemohon) mendalilkan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon menceritakan orang tuanya atas nama Taslim meninggal dunia pada 14 April 2002 akibat dibunuh secara sadis di Pasar Malam Balai, Kelurahan Karimun, Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Atas kejadian ini, Pemohon melapor kepada Kepolisian Resor Karimun. Terhadap laporan tersebut ditetapkan dua orang yang kemudian terpidana penjara selama 15 tahun, sedangkan 5 lima orang lainnya masuk pada daftar pencarian orang (DPO). Namun perkara atas 2 orang yang ditetapkan tersangka oleh Majelis Hakim dihentikan penyidikannya oleh Kepolisian Republik Indonesia dengan alasan hukum perkara daluwarsa sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 78 ayat (1) angka (4) KUHP.
Pemohon melalui kuasa hukumnya, Jhon Asron Purba, mendalilkan ketidakadilan masa daluwarsa penuntutan yang dialami Pemohon pada perkara ini, berpotensi membuat pelaku tindak pidana berat, keji, dan biadab yang semestinya dihukum mati atau seumur hidup tidak memperoleh hukuman sebagaimana perbuatannya. Selain itu, sambung Jhon, pasal a quo juga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon atas hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Sebab daluwarsanya masa penuntutan terhadap pelaku tindak pidana mati atau pidana penjara seumur hidup (dalam hal ini 20 tahun) yang daluwarsanya hanya 18 tahun. Di tambah pula, Pemohon berpotensi tidak adanya kepastian hukum terhadap kematian orang tua Pemohon terhadap 5 orang masih DPO dan belum ditemukan sampai saat ini.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon dalam Petitumnya memohon pada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan materi muatan Pasal 78 Ayat 1 Angka (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lebih dari delapan belas tahun dan atau 36 tahun.”
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Andhini S.F.