JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (24/10/2022). Permohonan perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Leonardo Siahaan. Materi yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu yang menurut Leonardo bertentangan dengan UUD 1945. Pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Daniel Yusmic P. Foekh ini, Leonardo menyampaikan beberapa hal yang telah disempurnakan dari permohonan sebelumnya.
Pertama, terkait dengan kerugian konstitusional. Pemohon dalam perkara ini menegaskan diri sebagai pemilih dalam kontestasi pemilihan umum nanti. Pemohon mengkhatirkan adanya frasa yang ambigu dari pasal tersebut melahirkan peserta pemilu (caleg) yang tidak berintegritas. Kedua, Pemohon juga telah menyertakan perbandingan perbedaan alasan permohonan yang diajukan pada perkara ini dengan permohonan-permohonan sebelumnya. Ketiga, dasar hukum yang Pemohon gunakan pada perkara ini adalah Pasal 28J UUD 1945 yang berbeda dengan dasar hukum yang digunakan para Pemohon dalam perkara terdahulu yang pernah diajukan ke MK.
“Selanjutnya bangunan hukum yang telah diperbaiki pula dengan membuat konsep apabila frasa pada pasal a quo diberlakukan, maka Pemohon berpendapat tidak akan ada caleg yang berintegritas. Selain itu, jika norma ini diberlakukan, maka berpotensi menimbulkan abuse of power. Sebab masa periode dari anggota dewan tersebut tidak memiliki batasan sehingga celah itulah yang dapat kemudian digunakan oleh para caleg tersebut,” jelas Leonardo.
Baca juga:
Penguji UU Pemilu Minta Penjadwalan Ulang Sidang
Sebagai informasi, menurut Pemohon ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu pada frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” bertentangan dengan UUD 1945. Frasa tersebut mengindikasikan bentuk pengecualian dari narapidana yang dipidana 5 tahun atau lebih yang dapat mencalonkan diri sebagai persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota. Sehingga ketentuan tersebut berpotensi memberi celah bagi mantan koruptor yang sedang menjalani pencabutan hak politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif yang mewakili kepentingan masyarakat. Padahal Pemohon melihat caleg yang tidak berintegritas tersebut akan menambah masalah di parlemen, baik di pusat maupun daerah. Sebab, mereka hanya akan menularkan bibit korupsi pada anggota legislatif lainnya atau dapat saja mereka mengulang praktik berkorupsi yang pernah dilakukan sebelumnya.
Untuk itu, Pemohon dalam petitumnya, meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; menyatakan frasa ‘kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana’ Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha