JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 pada Rabu (12/10/2022). Agenda sidang adalah pemeriksaan perbaikan permohonan perkara Nomor 93/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi.
Adapun norma yang dimohonkan untuk diuji yakni Pasal 433 KUHPerdata “Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”.
Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Kuasa hukum para Pemohon, Anang Zubaidy dalam persidangan secara daring mengatakan telah memperbaiki permohonan dengan menambahkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021. “Kami telah sesuaikan dengan peraturan itu dan kami sesuaikan juga di dalam permohonan atau perbaikan yang kami tempatkan di perbaikan permohonan pada halaman 2,3 dan 5,” ujarnya.
Kemudian, sambungnya, pihaknya juga mempelajari beberapa putusan MK berkaitan dengan pengujian KUHPerdata, antara lain Putusan Nomor 4/PUU-IX/2011, Nomor 100/PUU-XIV/2016, Nomor 65/PUU-XVII/2019, Nomor 77/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 1/2021. “Perbaikan atau tambahan ini kami masukkan dalam poin 9 halaman 6,” jelas Anang.
Lebih lanjut Anang menyebutkan perbaikan legal standing Pemohon I. Terkait hal ini, pihaknya telah menyempurnakan dengan memasukkan akte pengesahan Pemohon I.
Baca juga:
Menghapus Stigma Penyandang Disabilitas Mental dalam KUHPerdata
Sebagai informasi, permohonan Nomor 93/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi. Pasal 433 KUHPerdata menyatakan, “Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”.
Kuasa hukum para Pemohon, Anang Zubaidy dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (26/9/2022) secara daring mengatakan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil. Pasal tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental. Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum.
Selain itu, sambung Anang, Pasal 433 KUH Pedata sesungguhnya telah mengakui bahwa gangguan kejiwaan dapat bersifat episodic yakni dengan adanya pencantuman frasa sekalipun kadang cakap mempergunakan pikirannya. Namun Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodic bukan menetap, dikarenakan sifat episodic tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional.
Para Pemohon dalam permohonan juga menyoroti pengobatan dengan menggunakan obat-obatan psikiatri yang fundamental bagi pemulihan kepada orang dengan gangguan jiwa masih belum ditemukan pada saat penyusunan KUHPerdata pada tahun 1830. Menurut Pemohon, pengampuan dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak cakap atau dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas Hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil yang disebut pengampu. Pemohon menambahkan, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad ke-21 dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-19 sudah tidak relevan.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.