JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) pada Rabu (12/10/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Marzuki Darusman (Pemohon I), Muhammad Busyro Muqoddas (Pemohon II), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI/Pemohon III) ini mendalilkan Pasal 5 UU Pengadilan HAM yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang kedua dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan, Feri Amsari sebagai kuasa hukum para Pemohon menyebutkan beberapa perbaikan yang telah dilakukan pada permohonan. Salah satunya menambahkan norma pengujian, yakni Penjelasan Pasal 5 UU Pengadilan HAM, menguraikan tentang kedudukan hukum Pemohon sehubungan dengan status sebagai pembayar pajak aktif, dan kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon yang dikaitkan dengan pasal-pasal yang ada pada konstitusi.
Secara rinci, Feri menyebutkan terhadap kedudukan hukum Pemohon III yang merupakan organisasi nonpemerintah yang sangat konsisten memperjuangkan kebebasan pers dan hak publik atas keterbukaan informasi. Selain itu, AJI juga menjadi organisasi yang terlibat dalam pemberantasan ketidakadilan dengan peran aktifnya pada federasi jurnalis di tingkat ASEAN. Tidak kondusifnya keadaan di ASEAN tersebut, sambung Feri, akan mempengaruhi kerja dari para jurnalis, termasuk hal yang terjadi di wilayah Myanmar.
“Di mana junta militer telah menghilangkan hak asasi jurnalis. Untuk itu, keberadaan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Maka atas jaminan perlindungan hukum ini, AJI menggunakan hak konstitusionalnya sebagai bagian dari warga negara dan berupaya melindungi hak setiap orang untuk dapat perlakuan yang sama di mata hukum terutama bagi korban-korban dari pelaku pelanggar HAM,” terang Feri dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih.
Sebagaimana sidang pendahuluan lalu, para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara. Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar. Mengutip pandangan Juan E. Mendez, ada tanggung jawab dari negara untuk melindungi korban dan masyarakat dalam kejahatan-kejahatan masif dan sistemik terkait dengan hak asasi manusia. Dengan dibatasi oleh Pasal 5, maka sulit bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia.
Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi. Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945”. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina