BALI, HUMAS MKRI – Dalam diskusi sesi satu kuliah singkat Internasional (Short Course) Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC), hadir Hakim Konstitusi periode 2003-2008 dan periode 2015-2020 I Dewa Gede Palguna dan Bertus de Villers yang merupakan Anggota Pengadilan Administratif Negara Bagian Australia Barat, pada Rabu (5/10/2022) di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Bali.
Pada kesempatan itu, Palguna mengatakan, dalam membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Maka kemerdekaan Indonesia dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang disusun dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, adil dan kemanusiaan yang beradab; persatuan Indonesia dan Demokrasi dengan tuntunan hikmat dalam majelis/perwakilan dan dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Masalah keadilan lebih luas daripada sebelumnya. Sehingga mencakup berbagai masalah sosial,” ujar Palguna.
Lebih lanjut Palguna menyebut, Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Istilah tersebut mengacu pada lima prinsip dasar yang menjadi landasan, yang secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara tersebut di atas. Tidak ada definisi dan/atau ruang lingkup keadilan sosial yang diterima secara universal. Meskipun tidak ada definisi atau pemahaman yang disepakati tentang keadilan sosial, para ahli dan aktivis sepakat tentang prinsip-prinsip minimum yang harus dikaitkan dengan keadilan sosial.
Secara historis, sambung Palguna, mayoritas ahli dan aktivis sosial sepakat bahwa masalah keadilan sosial dapat ditelusuri kembali ke era revolusi industri di awal abad ke-19 yang “menciptakan” stratifikasi sosial dalam masyarakat antara mereka yang kaya dan yang kaya. miskin (dan kesenjangan yang tajam dan terus melebar di antara keduanya). Ada keyakinan kuat bahwa pendekatan hak asasi manusia sangat penting ketika bekerja untuk keadilan sosial. Sampai saat ini keadilan sosial masih banyak dikaitkan dengan hak-hak sosial dan ekonomi. Para ahli percaya bahwa itu akan menjadi lebih kuat ketika mencakup semua hak asasi manusia.
Dari segi undang-undang, lanjutnya, jika ada undang-undang yang tidak memenuhi salah satu asas keadilan sosial tersebut, mereka yang memiliki kepentingan konstitusional, bahkan satu warga negara pun, dapat langsung membawa undang-undang tersebut ke MK dan meminta Mahkamah untuk meninjau konstitusionalitas undang-undang itu. Jika MK menemukan bahwa dalil-dalil para pemohon beralasan, Mahkamah akan menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional dan pada saat yang sama undang-undang tersebut kehilangan kekuatan mengikat secara hukum.
Masalahnya, Palguna melanjutkan, dalam banyak kasus pelanggaran terhadap hak konstitusional pada umumnya dan prinsip keadilan sosial pada khususnya, terjadi bukan karena adanya undang-undang yang inkonstitusional tetapi karena tindakan atau kelalaian pejabat publik sedemikian rupa sehingga melanggar hak konstitusional warga negara yang bersumber dari asas tersebut. Di beberapa negara kasus tersebut dapat dibawa ke mahkamah konstitusi dalam bentuk pengaduan konstitusional. Sayangnya Mahkamah Konstitusi Indonesia belum memiliki kompetensi untuk mengadili kasus-kasus tersebut.
Proses Transformatif
Sementara Bertus de Villers yang merupakan Anggota Pengadilan Administratif Negara Bagian Australia Barat memaparkan pengadilan dapat menjadi agen penting dalam proses transformatif suatu negara. Ia menyebut, peradilan dapat menghembuskan kehidupan ke dalam teks konstitusi.
“Pengadilan dapat membuat pelangi dari cetak hitam. Pengadilan dapat membiarkan kata-kata, sementara konstitusi berbicara dengan menyelesaikan perselisihan berdasarkan temuan fakta, penerapan hukum yang relevan, dan pelaksanaan diskresi. Itu bisa mengisi kesenjangan dalam kebijakan,” ujar Bertus.
Menurut Bertus, pengadilan bertanggung jawab, berdasarkan fakta-fakta dan pengajuan di hadapannya, untuk menyatakan hukum tanah yang menjadi tanggung jawabnya. Pengadilan tidak dapat menulis konstitusi, tetapi dapat menghidupkannya. Kemampuan peradilan yang memberi kehidupan berlaku untuk demokrasi yang sudah lama mapan, muda, dan baru muncul.
Selain itu, Bertus mengatakan, terdapat dinamika yang mempengaruhi hasil penalaran lembaga peradilan sangat kompleks, beragam, dan dipengaruhi oleh isu-isu sosial saat ini. “Dalam putusan Marbury vs Madison, Mahkamah Agung Amerika Serikat memperkenalkan apa yang sekarang dikenal sebagai konstitusionalisme (Marbury 1803). Dalam Brown the Education Board of Topeka, Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam keputusan yang paling singkat menjungkirbalikkan dogma 'separate but equal' dan menetapkan Amerika Serikat (dan akibatnya banyak negara lain) pada jalur hak-hak sipil dan kesetaraan (Kasus Brown 1954). Putusan-putusan ini, yang muncul dari konstitusi tertulis tertua, adalah contoh konstitusionalisme transformative yang patut dicontoh,” sebut Bertus.
Kemampuan Transformatif Pengadilan
Selain itu, Bertus mengatakan ketentuan konstitusi seharusnya digunakan oleh pengadilan untuk secara aktif menangani masalah-masalah esensial yang menyebabkan ketidaksetaraan dalam masyarakat tertentu, misalnya, melalui pengakuan sosial ekonomi. hak; hak minoritas dan masyarakat adat; atau hak lingkungan.
Menurut Bertus, konsep pengadilan transformatif telah dijelaskan sebagai berikut oleh Mahkamah Agung Kenya, tetapi dalam melakukannya pengadilan telah menekankan nilai-nilai yang mungkin juga terkait dengan liberalisme tradisional (misalnya keadilan sosial, kesetaraan, devolusi, hak asasi manusia, supremasi hukum dan kebebasan dan demokrasi).
Kemudian Bertus menyebut, menggambarkan konstitusionalisme transformatif lebih mudah daripada mendefinisikannya. Sementara apa yang dimaksud dengan konstitusionalisme transformatif tetap ambigu, telah dikemukakan bahwa perbedaan esensial antara konstitusionalisme transformatif dan liberalisme tradisional adalah bahwa yang terakhir mengejar kesetaraan formal, sementara yang pertama mengejar kesetaraan substansial.
“Tidak mengherankan bahwa konstitusionalisme transformatif telah 'menerima cukup banyak kritik' karena menginginkan keterlibatan yang lebih besar dari pengadilan dalam prioritas kebijakan dan bahkan alokasi anggaran. Mengejar agenda sendiri dapat membawa pengadilan dalam konflik dengan organ pemerintah lainnya; sementara diperbudak oleh teks konstitusi dapat mengikis kredibilitas publik dan legitimasi pengadilan. Dalam setiap studi kasus di bawah mahkamah tertinggi berhasil mempertahankan tali pusar konstitusi yang menghubungkannya dengan bangsa itu, menjunjung tinggi dan menghormati pemisahan kekuasaan dan hal itu perlu ditaati konstitusi di mana ia melayani namun ia berhasil mengubah arah bangsa.
Peran dan kemampuan transformatif pengadilan semakin dalam dan berlapis-lapis dibandingkan dengan usia konstitusi di mana pengadilan berfungsi. Peran transformatif peradilan dapat muncul dari proses demokratisasi; mengakhiri perang saudara; pemberantasan ketimpangan sosial ekonomi; pengakuan atas etno-minoritas dan hak-hak masyarakat adat; akomodasi pluralitas masyarakat; memastikan perlakuan yang sama bagi semua individu; meletakkan kontur hubungan antar pemerintah federal-negara bagian; menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusional seperti pemisahan kekuasaan, atau mengakui pentingnya isu-isu lingkungan.
Sementara konstitusionalisme transformatif sering disebut dalam literatur dalam konteks hak-hak sosial-ekonomi, ujian sebenarnya bagi konstitusionalisme transformatif adalah apakah pengadilan menangani masalah-masalah yang relevan dengan masyarakat tertentu dan apakah penilaian tersebut menimbulkan perubahan praktis dalam masyarakat.
Sesi Diskusi
Menanggapi materi dari kedua narasumber, Fransiska dari MKRI menyatakan bahwa ia setuju dengan pernyataan bahwa peradilan dapat bertransformasi. Negara dalam hal ini melaksanakan konstitusi ada kondisi emergency kebijakan dari negara dapat berkonflik dengan konstitusi itu sendiri. UU mengatakan dengan penggunaan APBN. Di masa pandemi ada kewajiban pemerintah untuk kegawat daruratan tetapi tidak ada jangka penggunaan dari anggaran tersebut. Di beberapa waktu dan kondisi MK berkaitan dengan penafsiran dan pengalaman bapak, apa asas keadilan yang dapat menciptakan peradilan terhadap peradilan konstitusi. “Apakah bapak pernah melihat ada kasus yang diputus oleh pengadilan mengenai wewenang badan lain, pengadilan dapat dikatakan konstitusional?” tanyanya.
Menjawab pertanyaan tersebut, Bertus mengatakan sejauh keputusan Mabo saat mengakui ada pendapat yang kuat di Australia, parlemen seharusnya melakukan legislasi saya tidak yakin ada pemahaman yang artinya untuk dapat menganulir.
“Dan ini adalah poinnya. Ini adalah proses yang harus menghormati supremasi hukum. Hakim tidak dipilih, hakim mungkin orang yang paling jauh dari masyarakat, hakim duduk di Menara gading, tetapi mereka tidak betul-betul memahami Menara gading itu sendiri. Harus ada konsesus di dalam masyarakat,” jawabnya.
Bahasan Pemilu
Pada kesempatan yang sama, sesi kedua diisi dengan materi mengenai Pemilu untuk kesejahteraan rakyat yang disampaikan oleh Guru Besar Universitas Indonesia, Topo Santoso. Topo mengatakan pemilu merupakan salah satu tolok ukur untuk mencapai kesejahteraan warga negara. “Pemimpin terpilih akan membawa perubahan yang membawa kemakmuran,” ujarnya.
Lebih lanjut Topo menegaskan, terdapat teori yang berpendapat pemilihan yang kompetitif dapat menciptakan insentif bagi politisi untuk menyediakan barang publik berbasis luas. Sementara dalam penelitian kuantitatif menemukan bahwa demokrasi meningkatkan pengeluaran, tetapi berdampak kecil atau tidak sama sekali pada hasil pendidikan dan kesehatan, setelah kontrol yang tepat diterapkan. Sedangkan berdasarkan studi kasus menunjukkan bahwa politik demokratis menghasilkan insentif yang lemah atau negatif bagi politisi untuk mempromosikan reformasi. Ketika mereka melakukannya, jarang karena tekanan pemilu. Dampak demokrasi pada layanan sosial jauh lebih kompleks, bergantung, dan bernuansa daripada yang disarankan oleh teori baru-baru ini.
Topo juga menjelaskan terdapat beberapa hal penting dalam menjamin terselenggaranya pemilu secara jujur dan adil melalui penyelenggaraan pemilu yang dilakukan oleh KPU dan seluruh jajarannya. Kemudian, pemantauan dan penegakan hukum pemilu serta penyelesaian sengketa pemilu (keadilan pemilu) oleh Bawaslu, penegak hukum dan MK, pengawasan/Pengawasan oleh masyarakat khususnya melalui berbagai lembaga non pemerintah, pemantau, dalam pengawasan pemilu dan pelaporan ke Bawaslu.
Selain itu, sambung Topo, pendidikan pemilih untuk memilih calon terbaik, yang memiliki kredibilitas dan kemampuan untuk menciptakan kesejahteraan; tidak memilih calon yang melakukan kecurangan/penyimpangan (seperti melakukan politik uang dll). Monitoring/evaluasi rakyat kepada pimpinan eksekutif dan wakil rakyat di lembaga legislatif setelah mereka terpilih, untuk memastikan bahwa mereka memenuhi janji mereka selama kampanye pemilu dan membawa kesejahteraan bagi mereka, memberikan akibat negatif (tidak memilih) bagi pimpinan eksekutif dan wakil rakyat di lembaga legislatif pada pemilu berikutnya jika ingkar/mengabaikan janjinya sendiri saat pemilu.
Untuk diketahui Kursus Singkat Internasional (Short Course) adalah acara resmi yang diselenggarakan setiap tahun oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia (MKRI) sebagai Sekretariat Tetap Perencanaan dan Koordinasi AACC. Diinisiasi pertama kali pada tahun 2015, kursus singkat ini mencakup beragam topik mengenai kerja MK dan lembaga yang setara dan pemajuan hak konstitusional dengan pembicara seperti hakim dan mantan hakim MK Republik Indonesia, akademisi, peneliti, dan praktisi di bidang hukum.
Peserta kursus singkat, antara lain panitera pengganti, hakim pelapor, peneliti, staf hukum anggota AACC, serta akademisi dari universitas terkemuka di Indonesia. Latar belakang pembicara dan peserta kursus singkat yang beragam ini mendorong terjadinya diskusi yang bermanfaat dari berbagai perspektif serta saling bertukar pengalaman berdasarkan keahlian masing-masing. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.